SENJA DENGAN DUA
KEMATIAN
KARYA: KIRDJOMULJO
DIREVISI DARI TEKS ASLI
OLEH:
FATHUL A. HUSEIN
DRAMATIC PERSONAE:
WIJASTI
KARDIMAN
KARNOWO
SUMADIJO
SURTINI
INTERIOR SEBUAH RUMAH TUA YANG TELAH USANG DAN TAK TERURUS. SEPERANGKAT
MEJA KURSI MODEL LAMA, MENGESANKAN PERNAH AGAK BERHARGA, KINI TIDAK LAGI.
SEBUAH RANJANG BESI TUA BERKELAMBU. KESAN SEBUAH JENDELA. KESAN SEBUAH KAMAR
YANG MENCITRAKAN RUANG KEMATIAN. KESAN SEBUAH SEBUAH PINTU. SEBUAH POTRET
TERGANTUNG DI DINDING KHAYALI. SEBUAH VAS BUNGA DENGAN TUMBUHANKERING DAN MATI.
PEMBAGIAN RUANG DITATA SECARA TRANSPARAN, DI MANA TATA CAHAYA MENJADI SANGAT
SIGNIFIKAN. SUNYI.
ADEGAN I
KARNOWO
(MASUK MENGENDAP-NGENDAP)
Ha, ha, ha…Si Manis Bulat Panjang. Luar biasa “servis”-nya
malam tadi.
KARDIMAN
Ah, kamu!
KARNOWO
Oooh…Dadanya yang menggunung nyaris tumpah menyumpal mulutku,
ha, ha, ha…
KARDIMAN
Dan kau menelannya bulat-bulat. Ha?
KARNOWO
Ha, ha, ha…Jangan sewot Pak Kardi, tenang saja! Dia menantimu
mala mini. Lagi pula sebetulnya aku sudah bosan. Dia bukan seleraku lagi. Tapi
tentu Pak Kardi masih bersemangat untuk meremas-remasnya ‘kan? Ayo pergi ke
sana, rugi kalau tidak!
KARDIMAN
Mau sih mau. Tapi nafasku ini payah sekali. Jantungku seperti
sudah bocor. Mau mampus barangkali.
KARNOWO
Jadi tidak mau pergi nih?
KARDIMAN
Lain kali sajalah!
KARNOWO
Padahal saya sudah mengaturnya agar sepanjang malam ini dia
bersama Pak Kardi, lho.
KARDIMAN
Memang jantung sialan ini makin payah saja kalau
terus-terusan berada di rumah. Tak tahan ikut merasakan sakit biniku yang tak
sembuh-sembuh. Lagi Si Manis Bulat Panjang itu apa. Masa semalaman saya disuruh
nunggu di luar, macam detektif menunggu penjahat saja, eh sampai subuh dia
tidak mau ke luar. Dikiranya saya tidak bisa bayar apa. Dasar sundal!
KARNOWO
Ha, ha, ha…
KARDIMAN
He, jadi kamu rupanya yang bersama dia semalaman dan
menyikasaku di luar kedinginan, ha?
KARNOWO
Sudahlah Pak Kardi, saya betul-betul tidak tahu. Lagi
bicaranya jangan keras-keras. Macam tidak ada orang sakit saja di rumah.
KARDIMAN
Biniku sudah diangkut ke rumah sakit kemarin sore. Sore ini
Wijasti sedang menjenguknya. Kalau dia ada di rumah, masa aku bisa bebas
berteriak-teriak macam orang edan, ha, ha, ha…
KARNOWO
Jam berapa Wijasti pulang?
KARDIMAN
Paling-paling sebentar lagi. Kemarin, semalaman ia bersama
ibunya. Mau jadi orang baik-baik, katanya. Eh, kau tahu apa yang selalu
dkatakan biniku tentang rumah ini? Ya untuk mengejekku. Dia bilang, “sangkamu
ini rumah apa kura-kura?”, ha, ha, ha…Ya begitu itu kalau perempuan tidak tahu
seninya perasaan.
KARNOWO
Ha, ha, ha…
KARDIMAN
Terserah dia mau menyebutnya apa. Yang penting dalam hidup
ini ‘kan uang, iya nggak? Rumah baguspun kalau tidak ada duitnya, ya puyeng!
KARNOWO
Ha, ha, ha…
KARDIMAN
Lho itu kenyataan!
KARNOWO
Ha, ha, ha…
KARDIMAN
Ya terus tertawalah. Edan kamu!
KARNOWO
Ha, ha, ha…Kenyataan. Memang betul, itu kenyataan. Lantas?
KARDIMAN
Pokoknya aku sangat perlu uang mala mini.
KARNOWO
Gampang. Berapa Pak Kardi perlu?
KARDIMAN
Lagakmu! Jangan sombong kamu, aku betul-betul perlu uang,
tahu? Aku sudah bermimpi akan menang besar mala mini. Besok kulunasi semua
utangku. Berapa sih memangnya?
KARNOWO
Ha, ha, ha…
KARDIMAN
He, jangan mengejekku! Apa kamu sudah gendeng? Sebutkan saja
berapa, aku pasti bisa kembalikan. Percayalah, aku pasti menang kali ini.
KARNOWO
Penjudi mana yang tidak yakin dirinyapasti menang, ha, ha,
ha…
KARDIMAN
Jangan berlagak kamu!!! (MENGGEBRAK). Rumah ini boleh kamu
ambil sewktu-waktu.
KARNOWO
Sangkamu berapa harga rumah ini?
KARDIMAN
Aku tidak tahu.
KARNOWO
Sudahlah Pak Kardi, siapa anggap itu utang. Biarkanlah itu
tertimbun. Kita ‘kan kawan baik.
KARDIMAN
Hmm…
KARNOWO
Sahabat abadi.
KARDIMAN
Hmm…
KARNOWO
Dalam suka dan duka.
KARDIMAN
Hmm…Di neraka!!
KARNOWO
Ha, ha, ha…
KARDIMAN
Pasti ada maksud di balik ketawamu. Apa itu? Ayo sebutkan
saja apa yang kamu inginkan dariku!
KARNOWO
Hmm…Anu!
KARDIMAN
Anu apa?
KARNOWO
Wijasti.
KARDIMAN
Sudah kuduga.
KARNOWO
Tolonglah Pak Kardi. Sudah lama aku menginginkannya.
KARDIMAN
Menginginkannya untuk apa?
KARNOWO
Untuk menjadi biniku!
KARDIMAN
Bangsat! Sangkamu aku tidak tahu kalau kamu hanya ingin
menari-nari di atas keperawanannya, ha! Jangan macam-macam kamu, kalau tidak
ingin kupatahkan lehermu!
KARNOWO
Sumpah, aku sungguh-sungguh!
KARDIMAN
Bujuklah sendiri!
KARNOWO
Tidak bisa, Wijasti membenciku. Aku mohon Pak Kardi
membantuku.
KARDIMAN
Memangnya gadis mana yang tidak akan membenci muka bangsat
macam kamu.
KARNOWO
Bantulah aku Pak Kardi!
KARDIMAN
Apa jaminannya kalau kamu betul-betul tidak akan
mempermainkannya?
KARNOWO
Kehormatan Pak Kardi yang mesti aku jungjung tinggi.
Memangnya siapa kita ini? Terus terang, kalau aku mau, aku sanggup merenggut
“mahkota” Wijasti dengan caraku sendiri. Paksaan dan atau kekerasan. Tapi saya
hormat sama Pak Kardi. Aku bisa menempuhnya dengan cara damai, ha, ha, ha…
(MENGELUARKAN SEJUMLAH UANG).
Bersenang-senanglah Pak Kardi, mumpung hayat masih dikandung
badan. Jangan anggap ini utang. Pakailah sesukamu!
KARDIMAN
Cepat kamu pergi! Wijasti sudah datang. Lain kali kita
bicarakan lagi soal ini. He, jam tujuh aku ke rumahmu mengambil uang itu. Jam
delapan kamu boleh kemari menemui Wijasti. Edan, dia keburu masuk. Kamu
sembunyilah dulu, nanti kukasih isyarat kapan kamu boleh hengkang. Jangan sampai
dia tahu kita membicarakannya. Ayo cepat! (WIJASTI MASUK. KARDIMAN MEMBERI
ISYARAT. KARNOWO KE LUAR MENGENDAP-NGENDAP).
ADEGAN II
KARDIMAN
Bagaimana ibumu?
WIJASTI
Sudah bisa tidur. Tidak perlu lagi mendengar ayah gaduh
malam-malam.
KARDIMAN
Siapa yang membuat gaduh malam-malam?
WIJASTI
Bukankah ayah yang selalu mengganggu tidur ibu?
KARDIMAN
Aku tidak akan gaduh kalau kau tidak cerewet.
WIJASTI
Bukan. Ayah sengaja membuat gaduh untuk mengusik ketenangan
ibu. Padahal akan lebih baik kalau ayah tidak perlu pulang malam-malam.
KARDIMAN
Oh ya, agar kau bisa bebas bercengkerama melampiaskan nafsu
birahimu bersama laki-laki itu.
WIJASTI
(MENAHAN AMARAH)
KARDIMAN
He, bagaimana hubunganmu dengan laki-laki lembek itu?
WIJASTI
(DIAM)
KARDIMAN
Ha, ha, ha…Sumadijo. Dia sama sekali tidak pantas untukmu.
Lembek dan tidak bisa berkelahi.
WIJASTI
Siapa pernah mengatakan aku cinta kepadanya? Kalau pun aku
jatuh hati padanya, apa perduli ayah?
KARDIMAN
Jelas aku tidak sudi kalian berdua berada di rumah ini. Dia
tidak mungkin bisa mempunyai rumah dengan pekerjaannya sebagai juru tulis
kecil.
WIJASTI
Ayah sangka aku mengharapkan rumah ini?
KARDIMAN
Dengar Wijasti! Tak ada apa pun yang bisa kau harapkan dari
pemuda loyo macam dia!
WIJASTI
Kalau ayah ingin pergi, pergilah! Hangatkan badanmu yang
rapuh itu dalam dekapan perempuan-perempuan murahan!
KARDIMAN
Memang aku akan pergi. Pergi untuk membuktikan
kelaki-lakianku dihadapan perempuan-perempuan sehat! Buat apa menghanyutkan
diri dalam nestafa wanita yang tak pernah perduli terhadapku. Sakit-sakitan
lagi!
WIJASTI
Memangnya pernah ayah memikirkan ibu yang selama ini terus
menerus didera sakit?
KARDIMAN
Memangnya kapan ibumu memikirkan aku? Kapan ibumu sadar kalau
dirinya itu istriku? Selama ini ia hanya mencintai laki-laki yang bukan aku!
Buat apa aku memikirkan seorang perempuan yang berlaku demikian terhadapku?
Buat apa?
WIJASTI
Ayah sangka aku percaya perkataan itu?
KARDIMAN
Ah! Sejak dulu kau selalu memihak ibumu dalam menimbang
sesuatu. Itu yang mengakibatkan kau membenci aku.
WIJASTI
Tidak ada gunanya menuruti kemauan seseorang yang jiwanya
kotor seperti ayah!
KARDIMAN
Nanti kau akan tahu, akulah yang lebih berharga dari siapa
pun, termasuk ibumu. Berapa harga ibumu untuk hidupku? Dua pertiga dari
hidupnya tergeletak sakit memikirkan kekasihnya.
Apa yang ia berikan untukku selama ini? Nol!
WIJASTI
Ibu jatuh sakit karena memikirkan kehidupan ayah yang tak
karu-karuan.
KARDIMAN
Bukan! Kekacauan hidupku hanyalah kutukan atas dosa-dosa
ibumu. Ibu pertiwimu yang kau muliakan itu.
(PAUSE).
Wijasti, kau tahu
betapa aku ingin memperbaiki semua ini, tapi tak ada seorang pun yang bisa
kuharapkan. Bahkan kau lebih suka berpaling kepada laki-laki lembek macam
Sumadijo. Melihatnya saja aku sangat muak. Benci! (PERGI).
ADEGAN III
SUMADIJO
Bagaimana keadaan ibu Wijasti?
WIJASTI
Tambah buruk. Sudah kubawa ke rumah sakit.
SUMADIJO
Ayahmu juga tidak ada di rumah?
WIJASTI
Kau ‘kan tahu bagaimana kebiasaan ayah. Kenapa selalu kau
tanyakan?
SUMADIJO
Ya ibumu ‘kan sedang sakit keras. Mestinya ia turut
memikirkannya.
WIJASTI
Rumah tangga ini sudah porak poranda. Kalau aku tidak
memikirkan ibu, aku sudah minggat dari rumah ini.
SUMADIJO
Wijasti…
WIJASTI
Ssudah sejak lama ayah seperti bukan suami ibuku. Itu yang
membuat ibu sakit. Sebaliknya, sakitnya ibu membuat ayah semakin tidak betah di
rumah. Hubungan saling sebab yang semakin lama mencetuskan luka menganga.
Ketidak perdulian yang mengakar dalam kebencian. Acuh. Seolah-olah makhluk
asing satu sama lainnya.
(PAUSE).
Ayah makin kerap main judi,
main bohong, dan…entah main apalagi. Aku sudah segan memikirkannya.
SUMADIJO
Lantas bagaimana kalian bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari?
WIJASTI
Kecuali menjual diri, kami jual apa saja yang bisa kami jual.
Kau bisa bayangkan akan bagaimana keadaan rumah ini dalam setengah tahun lagi.
Habis. Aku sendiri sudah tidak bisa membayangkannya.
SUMADIJO
Wijasti…Rasanya aku mau turut membantu. Katakan jika kau
memerlukan sesuatu.
WIJASTI
Turut membantu apa umpamanya?
SUMADIJO
Ya…Seumpama kau memerlukan sesuatu untuk belanja.
WIJASTI
Ibu memerlukan seorang suami, dan aku perlu seorang ayah.
Kami perlu seorang laki-laki yang tahu betul bahwa dirinya seorang suami dan
ayah. Lain tidak!
SUMADIJO
Kalau begitu…Bagaimana kalau kita kawin saja, Wijasti!
Mungkin ibumu akan girang hatinya.
WIJASTI
Dengar Dijo! Kebencian ayah kepadamu sudah tak terukur. Dia
begitu benci akan sikap-sikapmu yang terlalu berperasaan, tidak suka
pertentangan, dan apalagi kau tidak mau main judi. Bagaimana bisa ibu akan
gembira? Bahkan ayah akan semakin merendahkan kau, karena kau bukan seorang
lelaki yang sanggup melawan seseorang.
SUMADIJO
Ya…Aku memang tidak suka berkelahi. Aku tidak mau.
WIJASTI
Kalau begitu kau akan senasib dengan ibuku. Perlahan-lahan
mati dalam kelelahan.
SUMADIJO
Tapi kita bisa pindah dari rumah ini, Wijasti.
WIJASTI
Ibu tidak mau meninggalkan rumah ini. Dan aku tidak bisa
meninggalkan ibu. (MENAHAN PERASAAN). Sudahlah, jangan kita bicarakan lagi soal
itu.
SUMADIJO
Tapi kau kawanku sejak kecil. Aku tidak sanggup melihatmu
hancur.
WIJASTI
Lantas?
SUMADIJO
Mungkin…Akan lebih baik kalau kita meneruskannya dalam
perkawinan.
WIJASTI
Anak-anak kita kelak akan mengalami keadaan-keadaan
mengerikan macam yang dialami ayah dan ibuku sekarang. Meskinya kau berpikir
sejauh itu.
SUMADIJO
Tapi antara kau dan aku bisa mengerti satu sama lain.
WIJASTI
Mulanya mungkin bisa. Tapi kemudian ayah akan meracuni hidup
kita. Dan kau bukan seorang yang sanggup melawan. Jadi bagaimana bisa? Nanti
kau akan melampiaskan kekecewaan di luar rumah. Dan aku menjadi senasib dengan
ibu, mati perlahan-lahan karena memikirkan kau. (TAK DAPAT MENAHAN PERASAAN).
(PAUSE).
Luka keluarga ini
sudah begitu parah. Apa yang bisa kau perbuat untuk mengobatinya selain membawa
buah-buahan itu. Apa coba? Apa? Saat ini aku memerlukan seseorang yang sanggup
mengalahkan ayahku. Seseorang yang bisa mempertemukan kembali ayah dan ibuku,
dan sanggup meneguhkan kembali rumah tangga ini! Memang, sejak lama aku
memikirkan kau. Tapi…(TAK KUASA MENAHAN TANGIS). Coba katakana apa yang bisa
kau perbuat. Ayo katakan, jangan diam saja!
SUMADIJO
Ya…Tapi ayahmu itu ‘kan orang tua, dan aku anak muda. Jadi
bagaimana mungkin aku boleh bersikap keras kepadanya?
WIJASTI
Maksudmu, itu melanggar kesopanan, ha? (SINIS). Baik, orang
tua memang tidak boleh dilawan. Itu tidak sopan, tidak beradab. (PAUSE). Lihat
ayahku datang. Tampang macam itu yang katamu teramat susila untuk dilawan.
Lihatlah, kau sudah satu bulan tidak melihatnya ‘kan? Kau bisa melihatnya
bagaimana sekarang ia menjadi lebih rusak, pucat dan kasar.
(WIJASTI MASUK KE KAMAR. KARDIMAN DATANG).
ADEGAN IV
KARDIMAN
Sumadijo…ha, ha, ha, ha…(MENGEJEK).
SUMADIJO
(MENAHAN PERASAAN)
KARDIMAN
Sudah puas bercengkerama dengan Wijastimu?
SUMADIJO
(MENAHAN PERASAAN)
KARDIMAN
Mukamu memperlihatkan Wijasti telah memakan hatimu, ya!
SUMADIJO
(MENAHAN PERASAAN)
KARDIMAN
Orang perempuan memang suka makan hati. Tapi jangan khawatir,
Wijastimu itu perawan alim dan berperasaan sangat halus, ha ha ha ha…
Dia sangat cocok untuk membuat rumah tangga menjadi tenteram,
tenang dan sunyi. Ia sangat membenci orang yang suka berjudi, apalagi melacur.
Jadi, kamu tidak usah khawatir jadi melarat. Ha, ha, ha, ha…
WIJASTI
(DALAM KAMAR).
Kurang keras tertawanya! Ibu pasti sudah merindukan
teriakan-teriakan ayah!
KARDIMAN
Oh…Jadi kita harus berbicara halus dan penuh perasaan. Ha,
ha, ha…
Orang sakit memang harus banyak tidur. Tapi kalau tidur
terus, itu memuakkan. Iya, kan, Wijasti?
Hei, Dijo! Kamu tak menengok ibu mertuamu? Tengoklah kalau
kamu ingin menjadi menantu orang. Ia pasti akan sangat suka sama perjaka macam
kamu. Halus perasaan, pendiam, tidak suka melacur, tidak suka mabuk dan judi,
dan ha, ha, ha, ha…kelihatan pengecut!
Apa pekerjaanmu sekarang? Masih menjadi juru tulis di kantor
kecil dekat comberan busuk itu? Berapa gajimu?
SUMADIJO
(DADANYA NAIK TURUN HAMPIR MELEDAK)
KARDIMAN
Oh…Maaf. Maaf kalau perkataanku menyinggung perasaanmu.
Biasa, kan, seorang calon mertua menanyakan sesuatu mengenai pekerjaan calon
menantunya? Jangan sangka itu penghinaan. Masa seorang calon mertua menghina
calon menantunya, enggak toch? Ha, ha, ha…
Anggaplah itu kata-kata dari hati ke hati.
SUMADIJO
(MARAH). Jadi betul semua yang dikatakan Wijasti!
KARDIMAN
Apa yang betul, ha?
SUMADIJO
Bapak tidak berperasaan sedikitpun. Saya tidak mungkin bisa
hidup bersama keluarga macam begini!!
KARDIMAN
Keluarga macam begini? Keluarga macam apa kamu bilang?
SUMADIJO
Keluarga macam setan!!
(KE LUAR).
KARDIMAN
Hei! Kau sendiri macam apa, ha? Pemuda, kok, macam perempuan.
Loyo, lembek, penakut! Kau itu macam setan perempuan!!
Pemuda tidak berharga sepeserpun! Jangan pernah kembali lagi
kemari! Setan!!!
ADEGAN V
WIJASTI
Macam apa laki-laki berharga itu?
KARDIMAN
Yang bersifat laki-laki!
WIJASTI
Yang bersifat laki-laki itu macam apa?
KARDIMAN
Ya, yang berani melawan seseorang yang menghinanya!
WIJASTI
Apa lagi?
KARDIMAN
Yang berani bersikap jantan!
WIJASTI
Apa lagi?
KARDIMAN
Ah…macam-macam lagi!
WIJASTI
Berteriak-teriak selagi istrinya sakit keras, itu juga
termasuk sifat laki-laki?
KARDIMAN
Aku tidak berkata begitu. Aku hanya ingin meluapkan perasaan
benciku terhadap pemuda lembek itu. (PAUSE).
Wijasti, bukannya aku mau mengekang perasaanmu. Percayalah,
Sumadijo itu tidak akan sanggup membahagiakanmu. Aku semakin sadar untuk
belajar lebih banyak dari pengalaman-pengalamanku. Kau tahu, betapa ingin aku
memperbaiki hidupku dan rumah tangga Ini. Aku memang tidak pernah memperhatikan
ibumu. Tak ada usaku sedikitpun untuk membalas budi. Aku sadar itu perbuatan
jahat. Aku menyesal, sungguh!!!
WIJASTI
Sudah tiga kali ayah mengaku menyesal, dan tidak pernah ada
buktinya. Dulu ayah menyesal hanya untuk membujuk perhiasanku. Kali ini untuk
apa, kalau aku boleh tahu?
KARDIMAN
Wijasti, sekali ini aku tak bermaksud apa pun. Aku hanya
ingin menyembuhkan ibumu. Ya…Tapi kau bisa percaya bisa tidak. Akutelah
berusaha mengatakannya dengan tulus. Tidak ada penderitaan seberat ini,
Wijasti. (BERLAGAK MENANGIS).
Berdosa kepada istri
dan anakku. Aku hampir tidak sanggup mengembalikan kebahagiaan rumah tangga
ini. Aku memang laknat! (PAUSE).
Aku berjanji kepadamu,
Wijasti. Pertama, aku tak akan pergi lagi malam-malam untuk mabuk, judi dan
bermain perempuan. Kedua, aku tak akan lagi berbicara kasar. Dan ketiga…aku…aku
harus menemukan seorang suami yang bisa membahagiakanmu dengan benar. Bisa
mengangkat rumah tangga ini.
WIJASTI
Dan itu bukan laki-laki lembek macam Sumadijo, begitu maksud
ayah?
KARDIMAN
Ya! Tidak macam Sumadijo, pemuda lemah lembut dan tidak
mempunyai keberanian.
WIJASTI
Lantas?
KARDIMAN
Wijasti, jangan sangka aku akan memaksamu kawin dengan
seseorang. Kau tergolong gadis cantik. Hanya kemiskinan memang telah membuatmu
tampak tak terurus. Dan kau sama sekali tak sepadan dengan Sumadijo. Tapi kalau
kau memang jatuh hati pada pemuda itu, aku pun tidak akan menghalangi. Besok
pagi aku akan mencari pekerjaan. Kebetulan ada seorang kawan baik yang akan
menerimaku bekerja. Ia seorang pemuda tampan dan suka menolong.
WIJASTI
O ya?
KARDIMAN
Tentu saja, Wijasti.
WIJASTI
Ia sanggup membiayai ibu di rumah sakit?
KARDIMAN
Tentu. Bahkan kau bisa dengan mudah berkenalan. Lagi pula, ia
sering menanyakan kau juga.
WIJASTI
Tentu ia menaruh perhatian kepadaku?
KARDIMAN
Ya.
WIJASTI
Ia laki-laki jantan macam yang ayah inginkan?
KARDIMAN
Ya.
WIJASTI
Berpendidikan baik?
KARDIMAN
Tentu. Bahkan pergaulannya sangat luas. Suka berbuat sesuatu
yang dibutuhkan orang lain.
WIJASTI
(TERTAWA GETIR). Rupanya ayah memimpikan sesuatu yang
mustahil terjadi.
KARDIMAN
Wijasti!
WIJASTI
Biaya untuk ibu mesti segera disiapkan!
KARDIMAN
Tak jadi soal! (TANPA DISADARI). Aku bisa meminjam lagi pada
pemuda itu.
WIJASTI
Apa? Meminjam?
KARDIMAN
(GUGUP). Mm…ng…ya, meminjam lagi.
WIJASTI
Memangnya ayah telah berhutang kepadanya?
KARDIMAN
Ya…Ia telah banyak menolong aku. Menolong kita selama ini.
Wijasti, aku banyak kalah judi. Dialah yang member tambahan belanja selama ini.
WIJASTI
Berapa hutang itu?
KARDIMAN
Jangan khawatir. Aku sanggup mengembalikannya setelah ada
uang. Sudilah jau membantuku, Wijasti!
Wijasti
(SINIS). Oh, tentu. Tentu aku mau membantu. Ia mempunyai
perusahaan?
KARDIMAN
Ya, bahkan kau tidak perlu bekerja jika kau mau.
WIJASTI
Lalu dengan cara apa aku bisa membantu?
KARDIMAN
(SALAH TINGKAH)
WIJASTI
Bagaimana itu, ayah? Bagaimana itu? Katakanlah!
KARDIMAN
(GUGUP). Kau…harus…
WIJASTI
Dengan menjadi istri Karnowo maksud ayah? Karnowo si Bengal
itu? (GERAM).
KARDIMAN
(DIAM)
WIJASTI
Artinya aku harus menjual diriku kepadanya, dan menjalani
kehidupan bersama seorang lelaki yang paling kubenci selama ini.
KARDIMAN
Bukan begitu, Wijasti.
WIJASTI
Itu maksuda ayah!
KARDIMAN
Wijasti, rasa cinta itu bisa tumbuh dalam pergaulan. Banyak
contohnya.
WIJASTI
Ayah sangka dengan begitu bisa menolong ibu dan rumah tangga
ini?
KARDIMAN
Wijasti, tolonglah…
WIJASTI
Tidak ayah. Itu hanya sekali dalam hidup seorang wanita!
Bagaimana mungkin ayah mau menghancurkannya! (TAK KUASA MENAHAN TANGIS).
KARDIMAN
Aku tidak bermaksud menjual harga dirimu, apalagi mau menghancurkanmu.
Percayalah, semua ini kutempuh demi kebaikan ibumu. Demi kebaikan kita. Berapa
sih harga kehormatan dan harga diri bila dibandingkan dengan tujuan mulia untuk
menyembuhkan orang yang kita cintai dan untuk memperbaiki rumah tangga ini?
Harga sebuah kehormatan bisa kita buat kalau dilandasi oleh alasan-alasan yang
benar dan bertujuan mulia. Kenapa mesti kau risaukan? Dan apa salahnya kita
mencoba sesuatu yang orang lain tidak mau mencoba?
WIJASTI
Tidak! Aku tidak akan berbuat sekeji itu!!!(MELEDAK).
KARDIMAN
Hei Wijasti! Memangnya seberapa jauh perbedaan “perbuatan
begitu” antara sebelum dan sesudah kawin? Itu sama sekali tidak akan merubah
apa pun. Dan yang paling penting, tokh ia akan mengawinimu. Akan mempertanggung
jawabkan perbuatannya, karena ia mencintaimu. Coba katakan padaku, apa
perbedaanya!
WIJASTI
Semua orang beradab sudah tahu!
KARDIMAN
Tidak! Perbuatan macam yang kutawarkan itu adalah perbuatan
baik, karena untuk sesuatu yang lebih suci, yakni kecintaan kepada seorang ibu,
seorang istri. Apa bedanya bersuamikan Karnowo atau Karnowi?
WIJASTI
Omong kosong! Tidak ada perbuatan suci yang begitu mudah
mengobral kesucian. Aku pergi sekarang juga!
KARDIMAN
Terserah apa maumu.
WIJASTI
Pergi dan tak akan kembali lagi. Kalau ibu mati, itu bukan
salahku. Aku tak mau menanggung kejahatan seseorang.
KARDIMAN
Besok rumah ini sudah bukan kepunyaan kita lagi, kalau kau
pergi!
WIJASTI
Apa maksud ayah?
KARDIMAN
Jangan pura-pura bego! Rumah ini atau kehormatanmu yang tak
seberapa itu!
WIJASTI
Berapa hutang ayah kepadanya?
KARDIMAN
Wijasti, aku berjanji akan menjadi baik kalau kau mau
menolongku sekali ini saja.
WIJASTI
Berapa hutang ayah?
KARDIMAN
Hanya sekali ini aku bisa berbuat baik kepada ibumu, tak ada
kesempatan lain. Tolonglah sebelum terlambat, Wijasti!
WIJASTI
Ayah belum menjawab pertanyaanku!
KARDIMAN
Pertanyaan mana?
WIJASTI
Berapa hutang ayah?
KARDIMAN
(SETELAH DIAM). Dua kali harga rumah ini beserta isinya.
Hanya kau yang bisa menolong. Ini kesempatan terakhir.
WIJASTI
Aku pergi! Aku tak mau mengorbankan diriku untuk seseorang
yang berwatak kejam macam ayah.
KARDIMAN
Jadi kau mau ayah macam apa?
WIJASTI
Ayah yang menyadari dirinya seorang ayah!
KARDIMAN
Macam apa itu?
WIJASTI
(MEMBANTING SESUATU). Aku tak mau mengakui ayah mulai sekarang!
KARDIMAN
He, memangnya siapa pernah mengatakan aku ayahmu, ha?
WIJASTI
(TERSENTAK). Kau…bukan…ayahku?
KARDIMAN
Kau boleh pergi dari sini! (MELEDAK). Memangnya berapa
hargamu yang sebenarnya, ha? Dengar, aku kawin dengan ibumu karena aku diminta
melindungi ibumu dari aib yang telah dibuatnya. Kau telah dalam kandungan
sebelum aku menjadi ayahmu. Ibumu kawin denganku, tapi tak pernah mencintaiku.
Ia membeli kelaki-lakianku hanya untuk menutupi hasil perbuatan nistanya. Aku
mau karena ibumu kaya waktu itu. Tapi bagaimana mungkin aku tidak mencari
perempuan lain di luar rumah? Sekarang pergilah! Tapi semua orang akan tahu
bahwa kau anak jadah yang tak pernah berbapak! Pergilah!!! Harga macam apa yang
kau tuntut? Aku yang telah melindungimu selama ini. Sekarang aku hanya minta
pertolonganmu untuk sekali ini saja>
WIJASTI
Kau telah memeras kami berdua, tapi kau bilang telah
melindungi!
KARDIMAN
Kalau saja ibumu bisa melupakan laki-laki itu, ayahmu, yang
tak pernah kau ketahui itu, barangkali tidak perlu terjadi macam begini.
Mungkin aku tidak perlu menghabiskan waktuku untuk berjudi, melacur dan mabuk.
Harga macam apa yang kau tuntut dari perkawinan macam begini, ha?
WIJASTI
Ibu akan mati!
KARDIMAN
(SETELAH DIAM). Telah lama aku menginginkannya! (PERGI).
ADEGAN VI
Tembang lirih Wijasti dalam kamar. Sunyi dan sendu. Sumadijo
masuk. Lapat-lapat ia memanggil nama Wijasti beberapa kali, tak berjawab. Ia
mendapatkan foto Kardiman di dinding, membantingnya berantakan. Tembang Wijasti
terhenti seketika.
ADEGAN VII
SURTINI
Saya mencari saudara Kardi. Dia menipu saya beberapa kali!
WIJASTI
Siapa anda? Duduklah!
SURTINI
Saya Nyonya Surtini.
WIJASTI
Duduklah!
SURTINI
Sudah saya katakana, saya mau ketemu “Tuan” Kardi. Dia menipu
saya.
WIJASTI
Duduklah!
SURTINI
Memangnya kamu apanya “Tuan” Kardi? Istri bontotnya ya?
WIJASTI
Saya penunggu rumah ini. Duduklah!
SURTINI
Kamu pasti anaknya. Lantas mana istri “Tuan” Kardi?
WIJASTI
(MELEDAK TIBA-TIBA, MEMBANTING FOTO KARDIMAN). Duduklah atau
enyah dari sini! Berlakulah sopan! Saya harap “Nyonya” tahu, “Tuan” Kardi tidak
pernah pulang ke rumah ini, karena kami membencinya!
SURTINI
(DUDUK AGAK KETAKUTAN). Tapi dia menipu saya.
WIJASTI
Bagaimana dia menipu Nyonya?
SURTINI
Ia menipu saya dengan mengatakan sudah tak beristri, mengaku
punya perusahaan, lalu meminjam uang. Sampai sekarang hangus uang itu. Ia tiga
kali menyanggupi akan mengawini saya, tapi tak pernah ada buktinya. Padahal…
WIJASTI
Padahal apa?
SURTINI
Dia sudah berkali-kali melakukannya, sampai saya malu jadi pergunjingan
tetangga.
WIJASTI
Melakukan apa?
SURTINI
Meniduri saya!
WIJASTI
Bodoh!!!
SURTINI
Ya begitu itu perbuatan “Tuan” Kardi!
WIJASTI
Dan perbuatan Nyonya juga!
SURTINI
Tapi dia terlalu, terlalu sekali terhadap perempuan! Dia
bahkan telah menipu dua orang saudaraku pula, dengan mengatakan baru kehilangan
istrinya dan merasa kesepian. Akibatnya kami saling cemburu sesame saudara.
Dasar buaya! Sudah bau tanah masih ngos-ngosan sama perempuan. Saya sanggup
meracuni laki-laki macam begitu!
WIJASTI
Saya juga sanggup Nyonya!
SURTINI
Dia itu penyakit bagi kehidupan wanita!
WIJASTI
Nyonya juga penyakit bagi kehidupan laki-laki!
SURTINI
Ah sudah, sudah! Kamu sama saja dengan bapakmu!
Berbelit-belit dan susah diajak ngomong baik-baik.
WIJASTI
Terserah Nyonya!
SURTINI
Pokoknya saya ingin bertemu dengan si Tua Belang itu!
WIJASTI
Dia sudah dua malam tidak pulang. Tidak ada gunanya ditunggu.
SURTINI
Saya tahu dia pulang tadi, ada orang yang melihatnya menuju
kemari!
WIJASTI
Ya tunggulah kalau mau!
SURTINI
Hehm, pembohong juga rupanya kamu!
WIJASTI
Saya hanya minta Nyonya pulang sekarang. Atau silahkan
menunggu kalau mau. Saya tidak punya waktu meladeni Nyonya, karena saya tidak
punya urusan dengan Nyonya. (MASUK KAMAR).
SURTINI
Saya akan menunggu sampai dia pulang!
WIJASTI
Tunggulah.
SURTINI
Saya belum puas kalau belum meludahi mukanya yang jelek itu!
WIJASTI
Puaskanlah!
SURTINI
Saya akan menikamnya jika perlu!
WIJASTI
Tikamlah! Bahkan kalau perlu telan saja mentah-mentah!
SURTINI
Diam kamu! Saya lagi marah benar sama dia! Kamu jangan
ikut-ikutan!
WIJASTI
(MELANTUNKAN TEMBANG LIRIH LAGI).
SURTINI
(TAK ENAK DIAM, HENDK PERGI, BERTABRAKAN DENGAN SUMADIJO DI
PINTU).
Heh, di mana kamu simpan mata kamu? Di pantat ya? Main tubruk
saja! Ooh, kamu anak Kardiman juga ya? Pantas mukamu tak sedap dipandang!
Celingukan, pura-pura tak lihat orang segede ini, ha!
SUMADIJO
Eh, kamu yang melihatku pakai pantat, bukannya pakai dengkul!
Dan muka siapa yang kamu bilang tak sedap dipandang pantat, ha?
SURTINI
Kubilang mata, bukan pantat!
SUMADIJO
Mata dan pantat bagi orang cerewet macam kamu sama saja! Dan
dari segi apa kamu menganggapku sebagai anak Kardiman, ha?
SURTINI
Roman mukamu memper muka dia!
WIJASTI
(MENDORONG KASAR SURTINI DAN SUMADIKO KE LUAR).
Di sini tidak ada
keturunan Kardiman, laki-laki jalang itu! Pergi kalian!!! (BERDIRI LUNGLAI
MENGHADAP JENDELA. KARNOWO MASUK DIAM-DIAM, DENGAN BIRAHI MENGGUMPAL).
ADEGAN VIII
KARNOWO
Wijasti…
WIJASTI
Mau apa kau kemari!
KARNOWO
Ayahmu sudah cerita tentang aku?
WIJASTI
Sudah!
KARNOWO
Apa yang dia ceritakan?
WIJASTI
Kau seorang yang berbudi!
KARNOWO
Betul ayahmu berkata begitu?
WIJASTI
Tapi aku tidak percaya, karena aku tahu macam apa kau.
KARNOWO
Ya beginilah aku. Syukurlah kalau kau sudah mengenalinya.
WIJASTI
Aku sudah tahu semua rencanamu dan rencana ayahku terhadapku!
KARNOWO
Bagus! Tapi kau jangan salah mengerti akan niatku. Masa aku
tega berbuat yang kurang ajar terhadap perempuan?
WIJASTI
Oh, jadi ada yang betul yang belum kau katakana?
KARNOWO
Aku ingin menengok ibumu!
WIJASTI
Oh ya?
KARNOWO
Tentu ibumu akan senang kalau kau menemaniku ke sana.
WIJASTI
Sangkamu ibuku akan senang kau menengok? Dia tidak menyukaimu
sejak tahu banyak tentang kekurangajaranmu terhadap keluarga kami!
KARNOWO
Maka itu aku perlu minta maaf. Aku menyesal, sungguh!
WIJASTI
Ha, ha, nampak sekali kau tidak pernah membujuk seseorang.
Kau memang sudah biasa merenggut sesuatu dengan membelinya.
KARNOWO
Dulu aku memang sering membujuk seseorang, bahkan membelinya
sekadar untuk menghempaskan kesunyian yang mengoyak-ngoyak. Tapi sekali ini
tidak Wijasti. Aku sungguh-sungguh! Kini aku benar-benar membutuhkan seseorang
yang bisa mengerti hidupku.
WIJASTI
Aneh, kau bisa menerka bahwa aku mengerti kehidupanmu!
KARNOWO
Siapa bilang kau yang kumaksud?
WIJASTI
Dari caramu menatapku!
KARNOWO
Pokoknya besok kita pergi berdua menengok ibumu!
WIJASTI
(TERSENYUM MENERKA). Lantas kita pergi dari kampung halaman,
dan menginap disuatu tempat nun jauh di sana dengan segala kemewahan dan
kenyamanan?
KARNOWO
(TERSINDIR). Ya kalau kau menghendaki? Itu mudah saja bagiku!
WIJASTI
Dengan begitu kau leluasa mencapai keinginanmu terhadapku!
KARNOWO
(DIAM TERSENTAK)
WIJASTI
Jawablah! Kenapa diam?
KARNOWO
Tak sejauh itu pikiranku!
WIJASTI
Jawablah dengan benar!
KARNOWO
Itu perbuatan paling jahat dalam kehidupan laki-laki!
WIJASTI
Kurasa tidak!
KARNOWO
Jangan meremehkan aku! Kau menaruh prasangka terhadapku!
WIJASTI
Bukan prasangka kalau nyatanya memang begitu! Aku sudah tahu
semuanya. Memperdayaku, itu tujuanmu yang utama. Aku tidak tahu mengapa kau
harus sebengis itu! Kukira bukan hanya luapan birahi yang meliputi hidupmu,
mungkin ada desakan dendam yang menyelinap dalam perasaanmu karena sakit hatimu
terhadapa orang lain dank au tak sanggup membalasnya! Atau mungkin karena
cintamu tak dihargakan seorang perempuan, karena cintamu itu cinta rendahan!
Tapi mengapa mesti kau tumpahkan semua itu terhadapku? Apa salahku hingga aku
harus menjadi korbanmu? Apa???
KARNOWO
(NAFSU MELENGGAK HAMPIR TUMPAH). Tidak!! Itu tidak benar, itu
terkutuk! Tapi dengar oleh nuranimu yang tak berharga itu, kalau hanya untuk
membalas perasaan sakit hati karena tersinggung oleh ucapan-ucapanmu,
penilaianmu terhadapku tidak terlalu meleset! Aku sanggup menindihmu dengan
bengis!
WIJASTI
Kau benar-benar akan merenggutku. Sesuatu yang hanya sekali
berharga dalam hidup seorang wanita.
KARNOWO
Begitukah tekadmu menilaiku?
WIJASTI
Tidak lain!
KARNOWO
Aku tahu mengapa kau begitu keji menilaiku. Karena kau merasa
diri tak berharga, dan karenanya kau berbuat begitu untuk mendapat harga. Atau
karena kau tak pernah mendapat penghargaan laki-laki, itu makanya kau tuding
aku secara kejam agar kau mendapat perhatian besar dariku!
WIJASTI
(MENAMPARNYA)
KARNOWO
Terimakasih! Sebuah tamparan yang manis.
WIJASTI
Kau seolah menelanjangiku hanya agar seluruh dunia tahu bahwa
kau tidak bermaksud memperdayaku?
KARNOWO
Ya! (MENDEKAT DAN MERANGSANG). Karena kau amat berharga
bagiku!
WIJASTI
(MENGELAK). Apa maksudmu?
KARNOWO
Tunjukkan bahwa kau juga menghargaiku! Tunjukkan bahwa kau
membalas perasaanku!
(NAFSU KARNOWO TUMPAH-RUAH TAK TERBENDUNG. IA MENDEKAP
WIJASTI SEKUAT TENAGA. WIJASTI MERONTA-RONTA TAK BERDAYA. DALAM KAMAR YANG
SUNYI, WIJASTI TERKAPAR DALAM AMUK BIRAHI KARNOWO).
ADEGAN IX
WIJASTI
Mau kemana kau sekarang?
KARNOWO
Pulang!
WIJASTI
Sesudah kau puas mencabik-cabik harga kewanitaanku?
KARNOWO
Jangan berlagak bego! Kau juga menikmatinya!
WIJASTI
(PUTUS ASA). Ya, aku menikmati kehancuranku.
KARNOWO
Ya. Berdua kita telah merengguk kealpaan semesta. Kau jangan
mengingkarinya!
WIJASTI
Tak ada pilihan bagiku, kecuali menyelinapkan hidupku dalam
luapan dendam dan nafsu bejatmu!
KARNOWO
Apa maumu?
WIJASTI
Kawini aku! Aku harus sanggup hidup bersamamu.
KARNOWO
Kau menginginkan itu?
WIJASTI
Itu mesti kau lakukan kalau kau sungguh laki-laki!
KARNOWO
Kenapa mesti?
WIJASTI
Kau sudah berjanji seperti dikatakan ayahku!
KARNOWO
Ha, ha, ha…Buat apa berjanji dan bersungguh-sungguh terhadap
anak penipu, penjudi, dan perusak perempuan?
KARNOWO
(MENEMPELENGNYA). Jangan kau bawa-bawa ayahku!
KARNOWO
Tapi kau memang anak Kardiman si buaya tua itu! (HENDAK
PERGI).
WIJASTI
Kau tidak bisa pergi begitu saja!
KARNOWO
Dengar, sekarang kuceritakan yang sebenarnya! Ayahmu itu
buaya. Buaya! Kekasihku telah dirusaknya dan dia seakan tak menanggung beban
apa-apa. Kehancuran kekasihku adalah kehancuranku!
Aku bisa dengan mudah membunuh ayahmu. Tapi itu tidak
setimpal. Jalan terbaik untuk membalasnya adalah dengan melemparkanmu ke lembah
nista seperti sekarang ini, agar dia tahu bagaimana rasanya tenggelam ke dalam
lumpur sakit hati.
Sangkamu aku saying padamu? Tidak! Melihat mukamu saja aku
muak karena terbayang muka si buaya itu!
Kau ingin tahu lebih banyak tentang apa yang paling berharga
pernah dilakukan ayahmu dalam hidupnya? Ia merenggut gadis-gadis dan
menyeretnya ke rumah pelacuran hanya untuk kepuasan dan dendam kesumat yang tak
jelas!
Sekarang, bagaimana mungkin kau mau menuntut harga lebih
padahal darah sampah itu mengalir deras di sekujur tubuhmu? Sangkamu kau bisa
mengangkat dirimu ke tempat yang lebih baik, oh sungai yang berasal dari mata
air yang keruh, ha, ha, ha…
WIJASTI
Kau tidak tahu siapa aku sebenarnya!
KARNOWO
Semua orang tahu kau anak si jahanam tua itu!
WIJASTI
Apa kau melihat sendiri bagaimana aku dilahirkan oleh seorang
ibu yang bersuamikan Kardiman?
KARNOWO
Kalau benar begitu, lebih buruk kodratmu, sebagai anak tak
berbapak, anak haram!
WIJASTI
Anak buaya atau anak haram, siapa yang mau perduli. Kebusukan
seseorang tidak ditentukan oleh kodratnya.
KARNOWO
Ha,ha,ha…Siapa mau memikirkan itu! Aku pergi!
(KELUAR. BERPAPASAN DENGAN SUMADIJO YANG HENDAK MASUK.
KARNOWO TERTAWA-TAWA KECIL PENUH EJEKAN DAN KEBUASAN, MEMANDANG RENDAH
SUMADIJO. SUMADIJO NAMPAK MARAH TAPI TAK BERDAYA DAN NYARIS MENGGIGIL
KETAKUTAN. WIJASTI MENATAP KEDUANYA DENGAN PENUH KEBENCIAN. KARNOWO PERGI
DENGAN LANGKAH PUAS YANG KEJI, SUMADIJO UNDUR DIRI TANPA KEPERCAYAAN DIRI).
ADEGAN X
SURTINI
Wijasti, tolonglah. Keadaanya sangat mendesak.
WIJASTI
Sudah saya katakana, urusan Nyonya tidak kena-mengena dengan
saya.
SURTINI
Bukan begitu. Ia sudah dua malam di rumah saya.
WIJASTI
Bagus.
SURTINI
Tapi dia tidak mau pergi!
WIJASTI
Tentu itu menyenagkan Nyonya.
SURTINI
Tidak, Wijasti! Saya malah menjadi takut sekarang. Gunjingan
tetangga sudah semakin santer.
WIJASTI
Kenapa mesti takut?
SURTINI
Tentu saja saya takut! Bagaimana nanti kalau saya dipaksa
kawin?
WIJASTI
Bukankah itu yang Nyonya inginkan?
SURTINI
Tidak, Wijasti! Saya malu sekali…Anak saya sudah besar-besar.
Mereka belum pada kawin. Mereka mulai marah-marah sama saya. Sudilah kamu
menolong, Wijasti…
WIJASTI
Nyonya urus saja sendiri.
SURTINI
Aduh, tolonglah, Wijasti. Malam nanti mereka pasti akan
ramai-ramai mengawinkan saya.
WIJASTI
Kawinlah!
SURTINI
Wijasti…Bagaimanapin Kardi itu ayahmu. Kamu tidak bisa
berdiam diri begitu!
WIJASTI
Dengar! Kardiman bukan ayah saya. Nyonya boleh usir dia, atau
kawin dengannya! Jangan harap saya mau menengoknya sekalipun! Sampaikan
kepadanya!
SURTINI
Kamu mestinya malu, Wijasti jelek-jelek dia ayahmu!
WIJASTI
(MARAH). Dia bukan ayahku. Besok saya pergi dari rumah ini.
Pergi untuk selamanya. Ibu saya pun sudah mati. Jadi tidak ada lagi urusan saya
di sini.
SURTINI
Wijasti…
WIJASTI
Uruslah dia, Nyonya. Dia harga setimapal yang harus Nyonya
bayar. Pergilah.
SURTINI
Wijasti…
WIJASTI
Kenapa masih menunggu?
SURTINI
Saya takut, Wijasti…Saya malu tertangkap basah.
WIJASTI
Kalau begitu panggil orang-orang untuk mengusir dia.
SURTINI
Kasihan Mas Kardi…
WIJASTI
Jadi apa mau Nyonya?
SURTINI
Tolonglah saya, Wijasti. (SUMADIJO MUNCUL).
ADEGAN XI
SUMADIJO
Nah! Ini si mata pantat yang dulu memaki-maki saya! Mau apa
datang lagi kemari?
SURTINI
(MENANGIS). Iya, saya pernah memaki-maki Saudara karena saya
tidak tahu. Maafkan saya, Mas…
SUMADIJO
Ya, sudah! Tidak apa-apa. Kenapa menangis?
SURTINI
Waduh, saya sedang kerepotan, Mas!
SUMADIJO
Kenapa?
SURTINI
Mas Kardi, ayah Wijasti, sakit keras. Telah dua malam di rumah
saya. Saya tidak sanggup merawatnya. Saya takut para tetangga akan mengawinkan
kami, kalau mereka menyangka kami ada hubungan gelap.
SUMADIJO
Kenapa tidak minta tolong Wijasti?
SURTINI
Sudah, Mas…Wijasti ‘ndak mau menerima kembali Mas Kardi di
rumahnya. Tolonglah, Mas…
SUMADIJO
Bagaimana saya menolongnya?
SURTINI
Bantulah Mas Kardi menginap di tempat Mas untuk sementara.
SUMADIJO
Ya, baik. Kita bawa saja ke sana.
SURTINI
Selama dia sakit saja, Mas! Sesudah itu kita pikir sama-sama.
SUMADIJO
Ya, tentu.
SURTINI
Eh! Mas namanya siapa?
SUMADIJO
Sumadijo, Bu.
SURTINI
Sumadijo? Wah! Cocok sekali nama itu! Artinya selalu sedia
menolong orang! Tidak macam Wijasti.
WIJASTI
Tentu tidak sama antara aku dengan dia. Dia baik budi. (KE
SUMADIJO). Rawatlah dia agar kau mendapat hadiah anaknya. Tapi ketahuilah,
sekarang aku bukan anak Kardiman.
SUMADIJO
Kenapa kau ini? Kok tidak boleh aku menolong ayahmu?
WIJASTI
Dia bukan ayahku. Kau harus tahu itu.
SUMADIJO
(TERKEJUT). Kamu kesurupan, ya? Aku mau menolongnya demi kau!
WIJASTI
Jangan mengharapkan sesuatu dariku. Dan aku tidak percaya
perkataanmu itu benar setelah kau tahu siapa aku.
SUMADIJO
Aku tidak perduli riwayatmu.
WIJASTI
(TERSENYUM SINIS)
SUMADIJO
Bahkan kalau kau telah mengalami sesuatu apapun!
WIJASTI
Aku ingin menguji kelaki-lakianmu. Dengar! Kemarin malam aku
telah tidur bersama dengan Karnowo.
SUMADIJO
(MELONGO)
WIJASTI
Sekarang sanggupkah kau membuktikan ucapanmu?
SUMADIJO
(TERPATAH-PATAH). Kau…tidur…dengan…dia?
WIJASTI
Ya.
SUMADIJO
(TERPATAH-PATAH). Tidur…dalam…arti…tidur?
WIJASTI
Ya. Kini aku sudah bukan perawan lagi.
SUMADIJO
Edan! Ini sudah keterlaluan!
WIJASTI
Aku sudah tahu kau tidak akan sanggup.
SUMADIJO
Tapi itu di luar batas perkataanku!
WIJASTI
Tidak seorangpun akan sanggup memegang kata-katanya kalau dia
bukan seorang laki-laki atau perempuan sejati.
SUMADIJO
Kau…Wijasti…(PUNCAK KEMARAHAN).
(KARDIMAN MUNCUL SEPERTI MAYAT HIDUP. SURTINI SEGERA MENARIK
SUMADIJO DAN MEMBAWANYA PERGI).
ADEGAN XII
KARDIMAN
(DENGAN BIBIR BERGETAR). Kudengar…kau tidak mau lagi
menerimaku, Wijasti.
WIJASTI
Karnowo telah merenggutku. Kini aku hancur dan ibu sudah
mati. Tidak ada lagi hubungan antara kau dan aku.
KARDIMAN
(NYARIS AMBRUK MENAHAN PERASAAN). Cepat benar segala sesuatu
menghilang…
WIJASTI
Waktu akan segera melenyapkanku pula dari sini.
KARDIMAN
Ohhh…(MENANGIS).
Tidak ada seorangpun yang dapat kuharapkan kini. Surtini
menolakku setelah aku tak beruang dan tanpa daya. Kau harapan terakhirku, pupus
sudah.
Wijasti…kukerahkan tenagaku yang penghabisan untuk menggapaimu.
Satu saja pintaku, maafkan aku…Aku makhluk biadab yang telah menghancurkan kau,
ibumu, dan diriku sendiri!
WIJASTI
Semua sudah berlalu.
KARDIMAN
Karnowo pergi begitu saja setelah…
WIJASTI
…memperkosaku?
KARDIMAN
Ya…ya…
WIJASTI
Dia pergi setalah menceritakan riwayat kotormu sebagai
manusia rendahan. Laki-laki tak bernurani!
KARDIMAN
Wijasti…Aku tahu. Kini aku harus menuai segala kekejianku,
tanpa seorangpun yang sudi memaafkan. Aku harus terima kodratku ini.
WIJASTI
Aku bisa memaafkanmu, tapi tak sanggup. Maafkan aku. Kau bisa
bermalam di sini, karena mala mini juga aku akan pergi, meniti kenistaan yang
tak sanggup kuelakkan.
KARDIMAN
Semalam aku benar-benar melihat diriku macam hantu yang
membayangi dengan muka busuk dan mengerikan. Tak kuasa aku menahan jantungku
yang remuk dan paru-paruku yang berlubang-lubang. Memompa darah untuk
kumuntahkan, aku harus melalui masa akhirku tanpa seorangpun disisiku.
WIJASTI
Tak ada yang bisa dimaafkan dalam kehidupanmu.
KARDIMAN
Wijasti…Limpahi aku sedikit ketenangan sebelum diriku menjadi
suluh neraka. Maafkan aku…
WIJASTI
Penderitaan aku dan ibu tidak dapat ditebus dengan satu kata
maaf. Apa arti kehadiranmu untuk kami? Aku akan senasib dengan ibu. Aku akan
kawin hanya untuk menutup aib, kemudian makan hati karena suami tidak bisa
mencintai. Itulah warisan berharga darimu.
KARDIMAN
Selamat tinggal, Wijasti…(PUTUS HARAPAN).
(KARDIMAN KE LUAR)
(BEBERAPA SAAT KEMUDIAN KARNOWO MASUK)
ADEGAN XIII
KARNOWO
Wijasti.
WIJASTI
Untuk apa kau kembali? Belum puas mencabik-cabikku?
KARNOWO
(DENGAN BERAT HATI). Ayahmu telah membisikkan sesuatu padaku.
WIJASTI
Tidak ada artinya.
KARNOWO
(TERPATAH-PATAH). Kau…bukan…anaknya…
(TERDUDUK). Aku datang untuk minta maaf. Aku dibutakan
dendam, dank au sasaran yang salah dari dendamku.
WIJASTI
Lupakan. Simpan dendammu sampai busuk.
KARNOWO
Aku mohon kau memaafkan aku.
WIJASTI
Aku berhak membunuhmu atas perbuatanmu itu.
KARNOWO
Wijasti…(MENDEKAT)
WIJASTI
Jangan mendekati aku!!!
KARNOWO
Kau seorang yang sanggup membuatku mengenal kejahatanku
sendiri.
WIJASTI
Bukan hanya kejahatan yang bersemayam dalam dirimu. Kelicikan
dan tipu daya pun mendekam dalam lubuk hatimu. Kau sakit hati, tapi tak sanggup
mebalas dan melawannya. Kau mencari alasan yang setimpal dengan memperkosa
anaknya agar nampak berani. Itulah hantu dalam hidupmu. Lebih dari kejahatan
yang sangat hina.
KARNOWO
Kata-katamu menorehkan luka di hatiku. Baik, bagaimanapun aku
laki-laki. Aku harus menebusnya secara bertanggung jawab. Sudikah kau menikah
denganku selekasnya.
WIJASTI
(DIAM)
KARNOWO
Aku bisa memperbaiki. Beri aku kesempatan.
WIJASTI
(BERBALIK MENGHADAP KARNOWO DENGAN NANAR DAN TUBUH GEMETAR)
KARNOWO
Ayahmu telah mati di sudut gang.
WIJASTI
(GEMETAR DENGAN TATAPAN KOSONG)
SELESAI