Jumat, 06 April 2012

Naskah Penagih Hutang


TEATER KOMEDI SATU BABAK
PENAGIH HUTANG / ORANG-ORANG KASAR
     Karya                      : Anton P. Chekov
     Para Pemain
     Baitul Bilal              :
     Nyonya Martopo     :
     Mandor Darmo        :


Tempat terjadi : Disuatu daerah perkebunan kopi di Jawa Timur. Suatu daerah yang beralam indah dan kaya, segar, disanalah pemilik perkebunan mempunyai rumah yang besar, bagus dan mewah, mereka suka memelihara kuda dan waktu senggang mereka suka berburu tupai atau burung. Mereka suka pula bertamasya dengan kereta dan kuda mereka yang bagus. Ketika layar dibuka tampaklah kamar tamu di rumah Tuan Martopo yang mewah, perabotan di kamar tamu itu serba bagus. Di dinding terdapat tupai-tupai yang diisi kapas terpaku dengan lucu, juga terdapat tanduk-tanduk rusa, burung-burung yang  berisi kapas dijadikan hiasan disana sini. Sedang dilantai merebahlah harimau yang dahsyat tentu saja. Disana juga terdapat bermacam golok, pedang dan senapan angin yang tersimpan disebuah lemari kaca besar. Pada suatu hari kira-kira jam dua belas siang di kamar tamu yang mewah itu, Nyonya Martopo, sang janda duduk di atas sofa sambil memandang dengan penuh lamunan ke gambar almarhun suaminya yang gagah dan berkumis tebal itu,  dan masuklah Mandor Darmo yang tua itu.

Darmo              Lagi-lagi saya jumpai nyonya dalam keadaan begini     seperti ini. Hal ini tak bisa dibenarkan, nyonya             martopo. Nyonya menyiksa diri, koki dan babu           bergurau sabil memetik tomat, semua yang bernafas           sedang menikmati hidup ini, bahkan kucing kitapun   tahu bagaimana berjenakanya dan berbahagia       berlari-lari kian kemari dihalaman rumah, berguling-  guling dirumputan dan menangkapi kupu-kupu,   tetapi nyonya memenjarakan diri nyonya sendiri         didalam rumah seakan-akan seorang suster di biara.   Ya, sebenarnyalah bila dihitung secara tepat nyonya    tak pernah meninggalkan rumah ini selama tidak             kurang dari satu tahun.

Nyonya            Kenapa saya harus pergi keluar? Riwayatnya sudah tamat. suamiku terbaring dikuburnya, dan sayapun telah mengubur diri saya sendiri dilam empat dinding. Kami berdua telah sama-sama mati.

Darmo              Ini lagi, ini lagi ! ngeri saya mendengarnya, sungguh ! Tuan martopo telah mati itu kehendak Gusti Allah, dan Gusti Allah telah memberikannya kedamaian yang abadi. Itulah yang nyonya ratapi dan sudah sepantasnya nyonya menyudahinya. Sekarang ini waktunya untuk berhenti dari semua itu. Orang toh tak bisa terus menerus melelehkan air mata dan memakai baju hitam yang muram itu ! Isteri saya pun meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Saya berduka cita untuknya, sebulan penuh saya melelehkan air mata, sudah itu selesailah sudah. Haruskah orang berkabung selama-lamanya ? Itu sudah lebih dari yang sepantasnya untuk suami nyonya ! (IA MENGELUH) Nyonya telah melupakan semua tetangga nyonya, nyonya tak pergi keluar dan tak menjamu seorangpun juga. (MENYANJUNG) Oh, nyonya, nyonyaku, nyonya masih muda dan cantik ! Ah, seandainya memberi kesempatan pada semangat nyonya yang remaja itu…. kecantikan toh tak akan abadi ! jangan sia-siakan ! Apabila sepuluh tahun lagi nyonya baru keluar kepesta itu sudah terlambat.

Nyonya            (TEGAS) Saya minta jangan bicara seperti itu lagi. Pak darmo telah tahu bahwa sejak kematian mas martopo, hidup ini tak akan ada harganya lagi bagi saya..

Darmo              Adakah faedahnya kata-kata semacam itu, bila lebih patut nyonya berjalan keluar atau memerintahkan orang memasang kuda kesayangan kita si toby dan si taro di depan kereta, dan kemudian pergi pesiar ataupun mengunjungi para tetangga…

Nyonya            (MENANGIS) Oh…!

Darmo              (SETELAH KEHERANAN SEJENAK) Nyonyaku, nyonyaku ! ada apa ? Nyonya martopo, demi Tuhan ada apa ?

Nyonya            Suamiku sangat mencintai kuda itu, si Toby itu ! Ia selalu mengendarainya apabila meninjau kebun-kebun, bahkan ia pernah pula membawanya mendaki gunung bromo ! Ia sangat gagah kalau naik kuda ! Alangkah gayanya apabila ia menarik kekang kuda dengan tangannya yang perkasa itu ! Toby, toby, berilah ia rumput dua kali lipat hari ini.
Darmo              Baiklah, nyonya, baik ! (BEL DIBUNYIKAN ORANG DENGAN KERAS)

Nyonya            (GUGUP)  Siapa itu ? Saya tak mau terima tamu !

Darmo              Baik nyonya..! (IA PERGI KELUAR, KEPINTU TENGAH)

Nyonya            (MENATAP GAMBAR SUAMINYA) Engkau akan melihat, martopo, betapa aku dapat mencintai dan mengampuni. Cintaku bisa mati hanya bila akupun mati. (IA TERSENYUM MELELEHKAN AIR MATANYA). Dan tidaklah engkau baik dan setia, aku telah memalu ? aku adalah isteri yang mengurung diriku sendiri dan saya akan tetap tinggal setia sampai mati, dan kau, kau, kau tak punya malu, monyet yang tercinta ! Kau selalu mengajak bertengkar dan meninggalkan aku berminggu-minggu lamanya (DARMO MASUK DENGAN GUGUP).

Darmo              Nyonya, ada orang ingin bertemu dengan nyonya, mendesak untuk bertemu dengan nyonya..

Nyonya            Sudah saya katakan bahwa sejak kematian suami saya, saya tak mau menerima seorang tamupun..

Darmo              Sudah, tetapi ia tak mau mendengarkannya, katanya urusannya sangat penting..!
Nyonya            Sudah saya katakan tidak menerima tamu !
Darmo              Saya sudah berkata begitu, tetapi ia orang yang ganas, ia mencaci maki dan nekad saja masuk kedalam kamar, dan ia sudah menerobos kekamar makan..!

Nyonya            (MARAH SEKALI)  Baiklah !  Bawa dia kemari ! Orang tak tahu adat ! (DARMO KELUAR / PINTU TENGAH). Orang-orang tanpa guna, apa pula yang mereka kehendaki dari saya ! (MENGELUH)  Ya, sekarang sudah tenang, saya harus masuk biara. (MERENUNG)  Ya, biara !

Bilal                 (KEPADA DARMO)  Orang goblok ! engkau terlalu banyak omong !  Engkau keledai !  (MELIHAT NYONYA MARTOPO, SOPAN). Nyonya, saya merasa terhormat untuk memperkenalkan diri saya, Mayor Laskar Rakyat di jaman Revolusi, sekarang mengundurkan diri dan menjadi pengusaha per-kebunan, adapun nama saya… Baitul Bilal… Saya terpaksa menggangu nyonya untuk suatu urusan yang luar biasa mendesaknya.

Nyonya            Tuan mau apa ?

Bilal                 Almarhum suami nyonya, dengan siapa saya merasa beruntung bisa bersahabat, meninggalkan kepada saya dua bon yang jumlahnya dua belas ribu rupiah. Berhubung saya harus membayar bunga untuk sebuah hutang di bank rakyat besok pagi, maka saya akan memohon kepada nyonya hendaknya nyonya sudi membayar hutang tersebut hari ini…

Nyonya            Dua belas ribu… suami saya mengebon apa saja pada tuan..?

Bilal                 Eee… macam-macam, beras, kacang, kedelai, minyak dan oh, ya… dan juga rumput untuk kuda-kudanya..

Nyonya            (DENGAN MENGELUH KEPADA DARMO) Oh, rumput.. pak darmo jangan lupa bahwa si toby harus diberi rumput dua kali lipat hari ini (DARMO KELUAR. KEPADA BILAL) Bila mas martopo berhutang kepada tuan, tentu saja saya akan membayarnya, tapi sayang hari ini uangnya tidak pada saya. Besok pagi bendahara saya akan kembali dari kota dan saya akan memintanya untuk membayar apa yang sepantasnya harus tuan terima., tapi pada saat ini saya tak bisa memenuhi per-mintaan tuan, lebih dari pada itu bari tepat tujuh bulannya suami saya, meninggal dunia dan saya tidak bernafsu untuk membicarakan masalah uang...

Bilal                 Dan saya sangat bernafsu untuk bunuh diri bila saya tak bisa membayar bunga hutang saya besok pagi, mereka akan menyita perkebunan saya !

Nyonya            Besok lusa tuan akan menerima uang itu

Bilal                 Saya tak membutuhkannya besok lusa tapi hari ini..!

Nyonya            Saya menyesal, tapi hari ini saya tak bisa membayar

Bilal                 Dan saya tak bisa menunggu sampai besok lusa

Nyonya            Tapi apa daya saya kalau saya memang tak punya uang hari ini ?

Bilal                 Jadi nyonya tak bisa membayar ?

Nyonya            Tidak bisa !

Bilal                 Ha ! Itukah kata nyonya yang terakhir ?

Nyonya            Yang terakhir.

Bilal                 Sungguh-sungguh ?

Nyonya            Sungguh-sungguh.

Bilal                 Terima kasih (MENGANGKAT BAHU) Dan mereka mengahapkan saya untuk menahan diri. Penagih pajak di jalan tadi bertanya kepada saya kenapa saya selalu kuatir ? Saya membutuhkan uang, saya merasa leher saya terjerat. Sejak kemarin pagi saya meninggalkan rumah saya diwaktu hari masih subuh dan menagih hutang kesana kesini… kemudian menginap dirumah penginapan terkutuk itu, didalam kamar yang sempit dengan balai penuh dengan kepinding ! Dan akhirnya saya sekarang meng-harapkan untuk menerima uang sekedarnya dan nyonya cuma bilang “tidak bernafsu”, kenapa saya tidak boleh kuatir begini halnya ?

Nyonya            Saya kira saya telah cukup menjelaskannya, bahwa bendahara akan kembali dari kota dan kemudian tuan akan mendapatkan uang tuan kembali..

Bilal                 Saya datang bukan untuk bertamu dengan bendahara nyonya, saya datanguntuk bertamu dengan nyonya. Saya tak peduli dengan bendahara itu ! Demi setan tak peduli, ee… maafkan bahasa ini !
Nyonya            Sesungguhnyalah tuan, saya tak biasa dengan bahasa itu ataupun tingkah laku seperti itu. Saya tidak bernafsu untuk berbicara lebih lanjut ! (IA PERGI KEKIRI)

Bilal                 Apa bisa kukatakan sekarang ? Tidak bernafsu, Cih.. Tapi saya harus membayar bunga bank bukan ? Suaminya mati begitu saja, bendaharanya pergi entah kemana, semoga dimakan setan dia ! Sekarang terangkanlah, apa yang harus saya lakukan ? Apakah saya harus lari dari penagih bank itu dengan helikopter, ataukah saya harus membenturkan kepala saya ketembok batu ? Ketika saya datang ke sugardo itu untuk menagih hutang, ia pakai taktik “tak ada dirumah” dan irwan itu terang-terangan saja berlari sembunyi, saya telah pula bertengkar dengan si karto dan hampir-hampir saya lempar ia keluar jendela, marno pura-pura sakit, dan wanita ini tidak bernafsu katanya..! Tak seorangpun diantara mereka mau membayar hutang-hutang mereka, mereka terlalu sopan santun ! saya terlalu lembut hati terhadap mereka !  Tapi tunggulah saya tak akan membiarkan seorangpun memperdayakan saya, setan akan menghajar mereka ! saya akan tinggal di sini dan tak akan beranjak sebelum ia membayar utangnya…!  Brrr ! Betapa marah saya. Betapa hebat marah saya, segenap urat saya gemetar karena marah dan saya hampir-hampir tak bisa bernafas. Oh.. sampai-sampai saya hampir sakit, Syetan (IA MEMAGGIL) Mandor ! (DARMO MASUK)

Darmo              Ada apa ? Tuan ?

Bilal                 Ambilkan saya kwas dan sitrum (DARMO KELUAR)  Nah, apa yang bisa kita perbuat, ia tak punya uang kontan di dompetnya ? Logika macam apa ini ? Saya merasa terjerat leher saya, membutuhkan uang dengan sangat, dan hampir-hampir bunuh diri, dan ia tak mau membayar utangnya sebab ia tak bernafsu untuk memperbincangkan masalah uang, inilah logika perempuan ! Itulah sebab saya benci bicara dengan perempuan dan sekarang ini benci saya sangat luar biasa. Lebih baik saya duduk diatas kotak dinamit yang siap untuk meledak dari pada berbicara dengan perempuan ! Brr !  Saya merasa dingin seperti es, soal ini menyebabkan saya sangat marah. Melihat mahluk yang romantis seperti dia itu dari jauh saja sudah cukup untuk membuat betis saya jadi Kram ! Ini sudah cukup untuk mebuat orang berteriak minta tolong ! (MASUK DARMO).

Darmo              (MEMBERIKAN SEGELAS AIR, KWAS) Eh, maaf  tuan, nyonya martopo sakit dan tak mau bicara dengan tamu..

Bilal                 Minggat, Minggat ! (MANDOR PERGI) Sakit dan tak mau bicara dengan tamu !  Baiklah, boleh saja. Sayapun juga tak mau bicara ! Saya akan  duduk disini dan tinggal disini sampai kau bayar hutang saya. Kalau sakit seminggu, saya akan duduk disini seminggu, kalau kau sakit setahun, saya akan duduk disini setahun. Seluruh isi sorga menjadi saksinya saya harus mendapatkan kembali uang saya ! Mau tak mau mengguncangkan saya dengan duka citamu itu dan juga tidak dengan alis matamu yang bagus itu. Bah ! aku tak lagi heran melihat alis matamu itu! (IA BERTERIAK KELUAR JENDELA)  Hooii.. lepaskan kudanya dari kereta, kita tak yakin akan buru-buru pulang, Saya akan tinggal disini. Katakan pada orang-orang dikandang itu supaya memberinya rumput. Dua kali lipat ! Kuda yang kiri itu rewel sekali. Jangan dipukul goblok ! Ya, ya, Boleh juga dipukul tapi pelan-pelan saja ! Nah ! Begitu….. (MENINGGALKAN JENDELA)  Jahanam betul ! Panasnya tak terkira, tak  ada uang, semalam tak bisa tidur, dan sekarang, baju berkabung yang hitam  dan tidak bernafsu. Akh, kepala saya sakit mungkin saya harus minum. Ya, saya harus minum (MEMANGGIL) Mandor ! Pak Mandor ! (DARMO MASUK)

Darmo              Ada apa ? Tuan ?

Bilal                 Saya minta minum (DARMO KELUAR, BILAL MENUNDUK DAN MELIHAT PADA PAKAIANNYA)  Ugh ! Gagalnya sudah nyata ! Tak bisa dibantah lagi, debu, sepatu kotor, belum mandi, belum bersisir, jerami mengotori pakaian… Nyonya itu barangkali mengira saya ini seorang garong (IA MENGUAP) Memang kurang sopan masuk keruang tamu seperti ini. Nah, ya, ya tak ada salahnya sampai saya datang kemari tidak sebagai tamu. Saya penagih hutang, dan tak ada pakaian yang khusus bagi penagih hutang !

Darmo              (MASUK DENGAN SEGELAS KWAS) Wah, tuan nampak bebas betul disini.

Bilal                 (MARAH) Apa..?

Darmo              Saya… saya hanya… Eee…

Bilal                 Kepada siapa kau tujukan ucapanmu ? Diam ! Tak usah ngomong !

Darmo              (MARAH) Kacau ! Kacau ! Orang ini tak mau pergi ! (KELUAR)

Bilal                 Syetan, betapa marahnya saya ! Cukup marah untuk dilempari seluruh dunia dengan Lumpur. Sampai Saya merasa sakit ! Mandoor ! (NYONYA MARTOPO MASUK DENGAN MATA MEREDUP KEBAWAH)

Nyonya            Jadi Tuan belum pergi juga. Tuan selama hidup saya saya yang sepi ini, saya tak bisa mendengar suara manusia dan tak bisa mendengar bicara orang keras-keras. Saya minta kepada Tuan sukalah hendaknya supaya tidak mengganggu kedamaian saya.

Bilal                 Bayarlah saya, dan saya akan pergi.

Nyonya            Tadi sudah saya katakan dengan jelas, dalam bahasa Indonesia, bahwa saya tak punya uang kontan, tunggulah samapi besok lusa..!

Bilal                 Dan sayapun merasa terhormat untuk menerangkan kepada nyonya, juga dalam bahasa Indonesia, bahwa saya membutuhkan uang sekarang, tidak besok lusa.

Nyonya            Tapi apa daya saya bila saya tak punya uang..?

Bilal                 Jadi Nyonya tak akan membayar segera ? Begitu bukan ?

Nyonya            Saya tak bisa.

Bilal                 Kalau begitu saya akan duduk disini sampai saya mendapat uang, (IAPUN DUDUK) Nyonya akan membayar besok lusa.. (MELOMPAT BANGKIT)  Saya tanya kepada Nyonya saya harus membayar bunga besok pagi bukan ?  Ataukah Nyonya kira saya cuma berolok-olok ?

Nyonya            Tuan, saya minta Tuan jangan berteriak. Ini bukan kandang kuda..!

Bilal                 Saya bukannya sedang membicarakan kandang kuda, saya sedang bertanya saya akan membayar bunga besok pagi bukan ?

Nyonya            Tuan tak tahu bagaimana caranya memperlakukan seorang wanita..

Bilal                 Ooow.. tentu saja saya tahu..

Nyonya            Tidak tuan ! Tuan tidak tahu ! Tuan ini orang kampung, orang tak tahu adat. Seorang Tuan yang terhormat tak akan bicara seperti itu didepan seorang wanita..

Bilal                 Wah, hebat betul ! Nyonya mau bagaimana seharus-nya orang berbicara kepada nyonya, dalam bahasa inggris barangkali ?  Dear lady, would you like to lend me your beautiful eyes ? Pardon me for having disturb you ! What a beautiful wheather we are having to day! Shell we meet again tomorrow ? (MEMBUNGKUK MEMBERI HORMAT DENGAN CARA MENGEJEK)

Nyonya            Sama sekali tak lucu! Itu biadab namanya..!

Bilal                 (MENIRU) Sama sekali tak lucu, itu biadab namanya! Saya tak tahu bagaimana bersikap terhadap orang-orang wanita. Nyonya yang terhormat sepanjang umur, saya telah melihat wanita lebih banyak dari pada nyonya melihat burung gereja. Sudah tiga kali saya berkelahi karena urusan wanita, dua belas wanita telah saya tinggalkan dan sembilan wanita telah meninggalkan saya. Memang pernah pada suatu masa saya bertingkah bagaikan bahasa yang ber-madu, membungkuk, dan kemalu-maluan. Saya pernah mencinta yang dahsyat, mencinta sampai gila, mencinta dalam semua tangga nada, berkicau sebagai burung kutilang tentang emansipasi, mengorbankan separo dari harta bendaku dalam pengaruh nafsu yang lembut, tetapi sekarang, demi syetan, itu semua telah cukup. Hambamu yang patuh ini tak mau lagi ditarik-tarik kesana kemari seperti lembu yang bodoh. Cukup ! Mata yang hitam, mata yang ber-gairah, bibir yang mungil, lesung pipit, bisikan di terang bulan, keluh kesah yang menawa… Bah ! Untuk semua itu, Nyonya, aku tak mau membayar setalen ! Yang saya maksud tentu bukannya teman saya berbicara sekarang, tetapi wanita pada umumnya dari yang kecil sampai yang besar, mereka itu sombong, hipokrit, cerewet, menjengkelkan, tak setia dari kaki sampai kepala, pongah tanpa guna, picisan, kejam, dengan logika yang memusingkan, dan (MEMUKUL DAHINYA) Dalam hal ini harap dimaafkan keterusterangan saya ini, seekor burung gereja cukup bisa mengalahkan sepuluh filusuf yang memakai kebaya. Apabila orang melihat seorang wanita yang romantis didepan matanya, maka ia lalu membayangkan bahwa yang dilihatnya itu suatu mahluk yang suci, begitu hebat sehingga apabila ia tersentuh oleh nafas mahluk itu maka ia pun merasa dirinya terapung dalam lautan pesona yang mengagumkan, tetapi apabila orang melihat ke dalam jiwanya tak lain tak bukan hanya buaya (MENG-HANTAM SEBUAH KURSI). Tetapi yang lebih buruk dari semuanya ialah bahwa buaya ini menganggap dirinya sebagai mahluk yang sangat artistik, dan seakan-akan mengambil monopoli sebagai mahluk yang menggiurkan. Biarlah Syetan menggantung diriku jungkir balik kalau memang ada yang pantas dicinta pada wanita ! Apabila ia jatuh cinta, apa yang ia tahu cuma mengaduk dan melelehkan air mata. Apabila lelakinya sudah menderita dan suka ber-korban, maka si wanita mulai berlagak dan mencoba menyeret lelaki itu seperti Keledai. Nyonya mem-punyai nasib yang malang karena terlahir sebagai wanita, dan tentu saja Nyonya tahu bagaimana sifat wanita itu ! Hanya wanita tua dan jelek saja yang bisa setia. Lebih gampang mencari kucing yang bertanduk atau gagak yang berbulu putih daripada mencari wanita yang bisa setia.
Nyonya            Tapi izinkanlah saya bertanya, siapakah yang jujur dan setia dalam bercinta ? Lelaki, barangkali ?

Bilal                 Ya, tepat sekali ! Lelaki, tentu saja !

Nyonya            Lelaki…! (IA TERTAWA KASAR) Lelaki bisa jujur dan setia dalam bercinta, Wah, inilah suatu berita yang baru (PAHIT) Bagaimana Tuan sampai bisa berkata begitu? Lelaki jujur dan setia! Sementara soal ini sudah sampai begitu jauh, saya bisa mengatakan disini, bahwa dari segala lelaki yang seya kenal, suami saya adalah lelaki yang terbaik, saya men-cintainya dengan hangat, dengan segenap jiwa saya, seperti yang hanya bisa dilakukan oleh seorang wanita yang muda dan bijaksana, saya serahkan kemudaan saya, kebahagiaan saya, kekayaan dan hidup saya. Saya menyembah kepadanya sebagai orang kafir, dan apakah yang terjadi, dan apakah yang terjadi ? Lelaki yang terbaik ini menghianati saya pada segala macam kesempatan... Setelah ia meninggal dunia, saya temukan lagi mejanya penuh surat-surat cinta. Ketika ia masih hidup ia suka meninggalkan saya berbulan-bulan lamanya, memi-kirkannya sudah ngeri.. Ia bercinta cintaan dengan wanita lain dihadapan saya, ia memboroskan uang saya, dan memperolok-olok perasaan saya, tetapi saya masih tetap jujur dan setia kepadanya. Saya kubur-kan diri saya didalam empat tembok ini dan saya tetap memakai baju hitam ini sampai keliang kubur saya. Ah.. sudahlah, saya tak berminat untuk membicarakan masalah itu. Saya minta Tuan meninggalkan rumah ini karena saya sedang ber-kabung!

Bilal                 (TERTAWA KAMPUNGAN) Berkabung ! Nyonya berkabung ! Nyonya kira saya ini.., jangan dikira saya tak tahu kenapa nyonya memakai baju bagus yang hitam ini dan menguburkan dirinyonya diantara emapat dinding ini ! Rahasia macam apa itu, betapa romantisnya ! Nyonya mau meniru dongeng barangkali ! Seorang bangsawan berkuda akan lewat didepan puri, ia akan berkata dalam hatinya “disini tinggal sang putri Candra Kirana, yang demi cintanya kepada suaminya telah rela menguburkan dirinya didalam empat dinding kamarnya”  Oh ! Saya sudah mengenal sandiwara ini !

Nyonya            (Meledak) Apa ? Apa maksud Tuan dengan mengata-kan kata-kata itu kepadaku ?

Bilal                 Nyonya telah mengubur hidup-hidup diri nyonya, tetapi sementara itu nyonya tak lupa membedaki…

Nyonya            Alangkah lancangnya mulut Tuan !

Bilal                 Saya mohon tidak membentak saya, saya bukannya bendahara nyonya ! Izinkanlah saya menyebutkan kenyataan-kenyataan. Saya bukannya seorang wanita, dan saya sudah biasa serba berterus terang mengeluarkan apa isi  hati saya. Maka dari itu dengan hormat saya minta, jangan menjerit..!

Nyonya            Saya tidak menjerit, Tuanlah yang menjerit. Saya minta Tuan meninggalkan rumah ini !

Bilal                 Bayarlahdan saya akan pergi !

Nyonya            Saya tak mau membayar !
                       
Bilal                 Nyonya tak mau ? Nyonya tak mau membayar uang yang menjadi hak saya ?

Nyonya            Saya tak peduli, Tuan mau bertindak ? Satu rupiah pun saya tak mau membayar pergi dari sini !

Bilal                 Sebab saya bukan suami nyonya atau nyonya bukan tunangan saya, maka dari itu, janganlah nyonya bikin ribut. (IA DUDUK) Saya tak tahan lagi…

Nyonya            (MENARIK NAFAS JENGKEL)  Apakah Tuan akan berniat akan duduk ?

Bilal                 Saya memang sudah duduk.

Nyonya            Dengan hormat pergilah !

Bilal                 Dengan hormat bayarlah uang saya !

Nyonya            Saya tak sudi berbicara dengan orang biadab, pergi ! (PAUSE)  Pergi atau tidak..?!

Bilal                 Tidak !

Nyonya            Tidak ?

Bilal                 Tidak..

Nyonya            (NGEBEL, DARMO MASUK)  Pak Darmo, antarkan Tuan Baitul Bilal ini pergi.

Darmo              (DENGAN GAGAH MENGHAMPIRI BILAL) Tuan, mengapa Tuan tidak pergi kalau memang diminta pergi ? Mau apa sebenarnya tuan ini ?

Bilal                 (MELONCAT BANGUN) Kau kira kau bicara dengan siapa ? Kugilas lumat-lumat kau nanti !

Darmo              (MEMEGANG JANTUNGNYA)  Ya, Tuhan ! (JATUH DI KURSI)  Oh, saya sakit, saya tak bisa bernafas…
Nyonya            (GUGUP) Dimana si Suto (MEMANGGIL) Suto! Suto! Amat ! Amat ! (MENGEBEL)

Darmo              Mereka sedang pergi semua ! Dan saya mendadak sakit ! Oh, air..!

Nyonya            Tuan Baitul Bilal..! Pergilah… Oh ! Pergi ! Keluar !

Bilal                 Dengan hormat, agak sopanlah sedikit !

Nyonya            Engkau biadab, Engkau monyet !

Bilal                 (CEPAT MENGHAMPIRINYA) Izinkanlah saya ber-tanya atas hak apa nyonya menghina saya..?!

Nyonya            Habis mau apa lagi ? Tuan kira saya takut pada tuan?

Bilal                 Nyonya kira karena nyonya ini seorang mahluk yang romantis lalu nyonya bebas saja menghina saya tanpa mendapat balasan ? Saya menentang nyonya !

Darmo              Ya, Robbi..! Air..!

Bilal                 Ini harus diselesaikan dengan duel.

Nyonya            Apakah Tuan mengira karena Tuan begitu gagah, lalu saya takut kepada tuan ?

Bilal                 Saya jelaskan disini bahwa saya tidak mengizinkan seseorangpun menghina saya dan saya tak akan mengecualikan nyonya hanya semata-mata karena nyonya seorang wanita. Seorang “ Sex yang lemah “ katanya..!

Nyonya            (MENCOBA MENGALAHKANNYA DENGAN TANGIS) Badak ! Kau Badak ! Badak !

Bilal                 Inilah saatnya membuang tahayul lama yang beranggapan bahwa hanya lelaki saja yang harus memberi kepuasan. Bila ada persamaan antara laki-laki dan wanita, mestinya persamaan itu dalam segala hal. Emasipasi !  Bah..! Akhirnya toh ada batasnya, inilah buktinya !

Nyonya            Jadi Tuan menentang duel atau bagaimana ? Baiklah, (BERJALAN KELEMARI DAN MENGAMBIL SENAPAN ANGIN)

Bilal                 Oh, senapan angin ! Boleh saja !

Nyonya            Segera, aku kurang berlatih bertinju, tapi suamiku punya banyak senapan disini. Beberapa tupai dan burung saja sudah gugur karenanya dan sekarang senapan itu dengan mudah akan menggugurkan Tuan juga.

Bilal                 Segera !

Nyonya            Dengan gembira saya akan menembus kepala Tuan. Semoga Tuan dimakan Syetan……..! (MENGAMBIL SENAPAN)

Bilal                 Akan saya tembak alis matanya yang bagus itu. Saya bukan orang yang banyak cingcong, bukan pula pemuda hijau yang sentimentil. Bagi saya tidak ada Sex yang lemah…!

Darmo              Oh, Tuan (BERLUTUT)  kasihanilah saya, seorang tua seperti saya ini. Pergilah, Tuan sudah menakuti saya sampai hampir mati, sekarang Tuan ingin berduel pula…

Bilal                 (TAK PEDULI) Ya, duel !  Itulah persamaan, itulah emansipasi. Dengan begitu lelaki dan wanita sama. Saya akan menembaknya denga prinsip ini. Apa lagi yang harus saya katakan terhadap wanita semacam dia, (MENIRU) “Dengan gembira saya akan menembus kepala Tuan, Semoga Tuan dimakan syetan”!  Apa lagi yang bisa dikatakan tentang ini ? Ia marah, matanya berkilauan, ia menerima tantangan. Demi kehormatan saya, baru inilah pertama kalinya saya jumpai wanita seperti ini.

Darmo              Oh, Tuan, pergilah... Pergi ! (MASUK NYONYA MARTOPO MEMBAWA DUA SENAPAN)

Nyonya            Inilah senapannya. tetapi sebelum kita berduel, saya minta ajarilah dulu caranya menembak. Saya agak kurang biasa dengan senapan tadinya..

Bilal                 (MEMERIKSA SENAPAN) Ini namaya senapan angin. Ya, ini pelurunya memang bagus untuk menembak burung, tapi ini lain dari senapan biasanya, ya, boleh juga. Lihatlah, B.S.A. Kaliber 5,5. Dua senapan ini harganya tak kurang dari dua belas ribu. Beginilah caranya memakai (KESAMPING). Aduh, alis matanya ! Sungguh wanita yang sejati !
Nyonya            Sudah..?

Bilal                 Ya, Beginilah. Lalu tariklah, bisa ditembakkan (MENGAJAR)  Begini.. bidiklah... Coba miringkan sedikit kepala nyonya. Popornya harus tepat di bahu ini. Ya, begitu. Tangan hendaknya jangan kaku, lemas tapi kuat, coba, ya, jangan gemetar. Pelan-pelan bernafas, bidiklah baik-baik, aha, enak bukan ?

Nyonya            Tak enak menembak didalam rumah, marilah kita keluar, ke kebun !

Bilal                 Ya, tapi saya belum selesai mengajar, saya beri contoh dulu. Saya ajar coba menembak ke udara..

Nyonya            Terlalu ! Itu tak perlu ! Kenapa ?

Bilal                 Sebab, sebab… Itu urusan saya.

Nyonya            Tuan takut ! Ya memang ! Aaaah ! Jangan, jangan begitu, Tuan terhormat jangan gila-gilaan. Ayo, ikut saya, saya belum merasa tentram sebelum membuat lubang didahi Tuan yang saya benci itu. Apakah Tuan takut ?

Bilal                 Ya, saya takut.

Nyonya            Bohong ! Kenapa tak mau bertempur ?

Bilal                 Sebab, sebab, saya suka kepada Nyonya.

Nyonya            (TERTAWA MARAH) Tuan suka saya ! Begitu beraninya bilang kalau suka saya (MENUNJUK PERGI)  Pergi..!

Bilal                 (MELETAKKAN SENAPAN PELAN-PELAN DIATAS MEJA, MENGAMBIL TOPINYA DAN PERGI KE PINTU, IA BERHENTI SEBENTAR DAN MENATAP NYONYA MARTOPO, LALU MENHAMPIRINYA AGAK BIMBANG) Dengarkanlah ! Apa Nyonya masih marah. Saya begitu gila seperti syetan, tetapi saya harap Nyonya bisa mengerti, bagaimana saya mengatakannya? Soalnya adalah begini, soalnya ialah (MENINGGIKAN SUARANYA) Lihatlah apakah salah saya, bahwa Nyonya berhutang pada saya ? Saya tak bisa disalahkan bukan ? Saya suka kepada nyonya! Mengertikah? Saya, saya hampir jatuh cinta..

Nyonya            Pergi ! Saya benci kepada Tuan !

Bilal                 Ya, robbi ! Alangkah hebatnya wanita ini ! Saya belum pernah melihat wanita yang hebat ini. Saya kalah, remuk redam ! Saya sepert tikus yang kena perangkap.

Nyonya            Pergilah, atau saya tembak nanti..!

Bilal                 Tembaklah ! Nyonya tak tahu bagaimana bahagia rasanya mati didepan pandangan sepasang mata yang berkilauan itu, ah, alisnya… Mati ditembak senapan angin yang dipegang oleh tangan yang halus dan mungil itu ! Saya gila ! Coabalah pertimbangkan baik-baik, dan cepat-cepat putuskanlah, sebab bila saya pergi sekarang, itu artinya kita tak akan pernah berjumpa lagi. Putuskanlah, bicaralah, Saya masih Priayi, orang yang terhormat, penghasilan saya tak kurang sebulan dari sepuluh ribu, saya bisa menembak burung yang sedang terbang. Saya banyak kuda yang bagus. Maukah nyonya menjadi isteriku..?

Nyonya            (MEMBIDIK) Saya tembak..!

Bilal                 Ah, saya bingung, saya kurang mengerti..!  Mandoor.. Air..! Saya telah jatuh cinta seperti anak sekolah saja (IA MENJAMAH TANGAN NYONYA MARTOPO DAN WANITA ITU MENANGIS) Saya  cinta padamu (BERLUTUT) Saya belum pernah mencintai wanita seperti ini. Dua belas wanita telah saya tinggalkan dan sembilan wanita telah meninggalkan saya, tetapi tak seorangpun pernah saya cintai sebagaimana saya mencintaimu. Saya sudah kalah, tunduk seperti orang tolol, saya mengharap dilantai memohon tanganmu. Terkutuklah saya ini !  Sudah lima tahun saya tidak jatuh cinta, saya berterima kasih pada Nyonya karenanya, dan sekarang saya seperti sebuah kereta yang terkait pada kereta yang lainnya, Saya mohon pertolonganmu ! Ya, atau tidak ? Sudikah Nyonya ?  Baiklah..! (IA BANGKIT DAN CEPAT MENUJU KEPINTU)

Nyonya            Tunggu dulu..!

Bilal                 (BERHENTI) Ya…?

Nyonya            ……………….?

                                                T A M A T
 

                                                            Banjarmasin, 12 Pebruari 2004
                                                            Reprob By  M. Zakir M.















































Tidak ada komentar:

Posting Komentar