(TAMAN,
BANGKU. OT MASUK, BATUK-BATUK, DUDUK DI BANGKU. MASUK LSB, DUDUK DI BANGKU)
LSB Mau hujan
OT Apa?
LSB Hari mau hujan, langit mulai
mendung.
OT Ini musim hujan?
LSB Bukan. Musim kemarau.
OT Di musim kemarau, hujan tak turun.
LSB Kata siapa?
Terdengar
petir
OT Ini bulan apa?
LSB Entah.
OT Kalau begitu saya benar. Ini musim
hujan.
LSB Memang sekarang bulan apa?
OT Entah.
LSB Kalau begitu saya benar. Ini musim
kemarau.
OT Salah seorang dari kita pasti benar.
LSB Kalau begitu, baiklah, saya kalah.
Ini musim hujan.
OT Tidak, tidak. Yang lebih tua mesti
tahu diri, dan mau mengalah. Ini musim kemarau.
Bunyi
petir
OT Ternyata kita salah.
LSB Maksudmu, bukan musim kemarau daan
bukan musim hujan?
OT Habis mau apa lagi?
LSB Beginilah kalau kita gila hormat.
OT Maumu bagaimana?
LSB Akh, kita bisa sedikit main kasar.
OT Lantas?
LSB Supaya lebih jelas, musim apa
sebenarnya sekarang?
OT Dan kalau sudah bertambah jelas?
LSB (diam)
OT (merenung)
Dan kalau semuanya bertambah jelas, maka kit pun sudah berkelahi, karena
perdebatan barusan, dan siapa tahu salah seoraang dari kita mati karena
perdebatan itu. Atau kita berdua. Dan ini semua hanya gara-gara kita mencoba
mengambil sikap agak kasar terhadap sesama. (tiba-tiba marah). Bah! Persetan
dengan musim! Dengan segala musim!.
(BUNYI
PETIR. TAK BERAPA LAMA KEMUDIAN MASUK PB. BALONNYA BERANEKA WARNA)
OT (kepada PB) Silahkan duduk.
PB (bimbang, tetap berdiri)
OT Ayo, silahkan duduk. (menepi)
LSB Tentu saja dia ragu.
OT Memangnya kenapa?
LSB Pakai
silahkan segala!. Ini kan taman! (tiba-tiba marah) dia duduk atau tidak,
terserah dia, habis perkara! (melihat geram kepada PB)
PB (duduk)
LSB (masih marah) kenapa kau
duduk!?
PB Ee…saya mau duduk.
OT (tertawa keras)
LSB (Sangat marah) Kenapa bapak
tertawa?
OT (masih tertawa) Karena…saya
mau tertawa…(terbahak-bahak)
(SUARA
PETIR, ANGIN BERHEMBUS, SEBUAH BALON HAMPIR TERLEPAS. SEGERA PB MENANGKAPNYA.
LSB MENERKAM BALON ITU, AGAR BALON ITU LEPAS KE UDARA. PB DAN LSB BERGUMUL.
BALON-BALON LAINNYA KINI LEPAS DARI TANGAN PB, TERBANG KE UDARA. SEBUAH BALON
TERTANGKAP OLEH OT. KEMUDIAN IA MEMAINKANNYA DENGAN GEMBIRA SEPERTI
KANAK-KANAK)
LSB (lepas dari pergulatan dengan PB,
ia berdiri, napasnya tersengal-sengal)
PB (duduk di tanah, menangis)
OT (masih asyik bermain balon)
LSB (kepada PB) Mengapa…Hei,
mengapa menangis?
PB (diam, terus di tanah; menangis)
LSB (marah) Hei, kenapa kau
menangis?
OT (sambil terus bermain balon)
Karena dia memang mau menangis.
PB (tiba-tiba) bukan! Bukan itu
sebabnya!
OT/LSB (tercengang)
LSB Kalau begitu, kau menangis karena
apa?
PB Karena balon-balon saya terbang.
OT (mengerti) Oo…dia pedagang
yang merasa dirugikan. Karena balonnya terbang.
LSB Oo,
itu… ini! (merogoh dompetnya dari saku belakang) nah, ini sekedar
pengganti kerugian.
PB (berdiri) tidak! (duduk di
bangku, tangisnya menjadi-jadi) saya tak mau dibayar.
OT/LSB Tidak mau!?
PB (menggeleng-gelengkan kepalanya)
LSB Mengapa?
PB Saya lebih suka balon.
LSB (tak mengerti) Tapi, kau
pedagang balon kan?
PB Itu alasan saya saja untuk dapat
memegang balon. Saya pencinta balon.
LSB Apa maksudmu?
OT Mengapa
merasa aneh? Dia pencinta balon, titik. Seperti juga orang lain, pencinta harmonika,
pencinta mobil balap, pencinta perempuan cantik. Apa anehnya dari semua itu?
LSB (masih heran) Jadi kau bukan
penjual balon?
OT Ini, terima kembali balonmu.
PB Tidak, bapak pegang sajalah.
OT (heran) saya pegang?
PB Karena saya lihat bapak juga menyukainya.
Saya suka melihat orang yang suka.
OT Ahh,
ini bukan lagi kesukaan namanya, tapi kenangan. Tidak nak, sebaiknya kau ambil
kembali balonmu ini.
PB Saya tak sudi dan tak berhak
menerima kenangan orang (menolak balon)
Masuk
W, mendorong kereta bayi.
W (menggapai
ke arah balon) berikan pada saya saja, jika memang tak seorangpun yang mau.
OT (tiba-tiba memecahkan balon itu,
lalu melihat ke arah W)
LSB (marah) Hei mengapa bapak
pecahkan?
OT Karena saya memang mau memecahkannya.
Ngerti? (tertawa)
LSB Bangsat! Dasar orangtua keparat! (menubruk
OT)
W (melerai)
sudah. Sudah! Jangan berkelahi hanya karena itu, bukan ini yang saya maksud tadi.
LSB Lepaskan! Lepaskan aku! Biar kuhajar
dia!
W Jangan! Jangan! (menangis)
LSB (kesal
melihat W menangis) Ah, air mata lagi! Persetan! Mengapa nyonya datang
kesini!?
W (tiba-tiba marah) siapa
bilang saya nyonya!?
LSB O…baik,
baik! Jadi nyonya bukan nyonya. Kalau begitu nyonya apa? Nona barangkali!?
W (gugup) Ti…(menangis)
OT Ahaa..! nyonya bukan, nonapun bukan.
Lantas apa? Ahaa…(tertawa)
PB Sungguh
kasar, biadab kalian! (menuntun W duduk di bangku). Sudahlah bu, jangan
hiraukan mereka, sebaiknya ibu lekas pergi saja dari sini, sebelum mereka
menghina ibu lebih parah lagi nanti. Pergilah!
OT (kepada
PB)Ahaaa…pergi dengan kau? Ahaaa! Akhirnya sang putri bertemu sang
pangerannya di tengah taman. Dan…ahaa! Si anakpun bertemu dengan bapaknya!...(terbahak).
PB (tersadar)
siapa bilang saya….(melihat silih berganti pada OT, W dan ke dalam kereta
bayi) tidak, tidak. Saya bukan….
OT (memotong) Bukan apanya nak?
PB (pada OT) Bapak mau menuduh
saya?
LSB Menuduh
apa bung? Kau tampaknya begitu bernafsu bicara soal suatu tuduhan yang
sebenarnya tak ada. Kemudian, kau tampaknya bernafsu menolak tuduhan itu,
hingga…(tertawa) saya kini benar-benar mulai curiga dan menuduh kau tentang
suatu yang…terus terang saja, sesuatu yang belum jelas bagi saya.
PB (bingung) tidak! Tidak!
W (bernafsu mendekati PB,
memperhatikan wajahnya dengan teliti)
PB (semakin
gugup) Tidak! Tidak! Bukan saya! (mencoba menutupi wajahnya dengan kedua
telapak tangannya)
W (geram)
Ayo, buka tanganmu, aku mau melihat kau! Ayo! (merenggut tangan PB dari
wajahnya).
PB Tidak! Bukan saya! Bukan!
W Jahanam! Ayo, buka tanganmu kataku!
Buka! Bukaaa!
PB Bukan saya! Bukan saya!
W Kurang
ajar! Kau telah lari ha! Lari dan kau tinggalkan aku sendirian. Karena
perbuatanmu aku harus menanggung semuanya. Aku seorang wanita, sendirian! Cuih!
Ayo buka!
PB Bukan saya! Bukan saya!
OT (nyeltuk) itu sudah cukup,
tolol!
LSB (menimpal OT) belum tentu.
Menurut ilmu kedokteran modern…
W Ayo buka tanganmu! (pada OT/LSB)
bantu saya, saudara.
LSB Bukan
saya tak mau menolong, tapi saya secara
prinsipil tak mau ikut campur dalam urusan yang bukan urusan saya.
W (pada OT) Ayo pak, tolong
saya.
OT saya Cuma orang tua.
LSB Sial!
Apa maksud perkataanmu; saya orang tua. Semua juga tahu, bapak memang seorang
tua, dan sedikitpun tak ada memperlihatkan tanda-tanda bapak adalah kebalikan
dari ucapan itu.
OT (geli)
katakanlah saya hanya ingin mempertegas
kedudukan saya dalam peristiwa
yang kita hadapi ini. Ke-tua-an saya melarang saaya terlibat sedikitpun ke
dalamnya. Dan kalaau kalian tanyakan bagaimana pendirian saya dalam peristiwa
yang sedikit rumit ini, maka jawab saja, saya pro pada kalian berdua, lepas
dari pertanyaan apakah benar atau tidak, peristiwa itu telah benar-benar
terjadi. Tegasnya; saya pro pada setiap peristiwa beginian.
LSB Omong kosong! Yang diminta sekarang
dari bapak adalah perbuatan!
OT Kata-kata saya sekarang merupakan
pendirian dan perbuatan saya.
LSb Bagus,
bagus! Bicaralah terus dan sebentar lagi kita saksikan mereka berdua akan
saling bantai (maju menolong W merenggut tangan PB dari mukanya)
PB (meraung)
Bukan saya! Bukan saya! Sungguh mati, saya cuma melakukannya satu kali saja,
tak lebih…
OT (geli)…dan tak kurang!
LSB Diam
bangsat! Cuma sekali….itukan sudaah cukup? Maumu berapa kali ha? Serakah! Jadi
kau mengaku sekarang!?
W (histeris) aku….aku ditinggalkanya dan dia menghilang,
meninggalkan aku menghadapi akibatnya. (geram) ayo buka tanganmu!
LSB Buka! Buka!
Setelah
bergumul, LSB behasil membuka tangan PB dari wajahnya, lantas tangan PB dikepit
ke belakang punggungnya.
PB Bukan, bukan saya!
W (maju
dekat sekali ke wajah PB) Bangsat! Laki-laki jahanam! Kurang aj…(tiba-tiba
memekik) Bukan! Bukan! Ya Tuhan, bukan dia.
LSB/OT (serentak)
Bukan dia!?
W Bukan….(pingsan, segera dipegang
OT)
PB (teriak putus asa) Bukan
saya, bukan saya! Cuma sekali! Cuma sekali!
LSB (gemas, melepaskan kedua tangan
PB) Huh…bukan kau!.
PB Bukan! Bukan saya, cuma sekali!
OT (repot
mengipasi W yang sudah dibaringkan di bangku) Sudah! Cukup! Biar kau
melakukannya lebih dari sekali tidak penting lagi. Kemarilah, daripada kau
berteriak-teriak begitu, lebih baik kau (melihat ke LSB) kalian menolong
wanita ini.
LSB Menolong bagaimana?
OT (sangat
kesal) Ya, menolong dengan melakukan apa yang lazimnya dilakukan untuk
orang pingsan.
LSB Saya merasa segan.
OT Segan? Kenapa?
LSB Dia, eh…perempuan.
OT …dan
kau laki-laki. Lagi-lagi ucapan camplang. Semua orang juga tahu, dia ini
perempuan dan kau laki-laki. Lantas kau mau apa?
LSB Maksud saya…saya…eh segan
bersentuhan dengan tubuh perempuan.
OT Apa? Apa-apan ini!? Ayo, lupakan ke
lelakianmu dan tolong aku.
LSB Saya
adalah jenis laki-laki yang bila bersentuhan dengan tubuh perempuan bisa saja
terus…
OT (cepat-cepat memotong) saya
tahu. Tapi laki-laki mana yang tidak!?
LSB O…Jadi bapak juga memiliki prinsip
yang sama?
OT (tercengang)
Prinsip? Akh, kata siapa ini soal prinsip. Aku malah lebih cenderung
menyebutnya sebagai penyakit. Akh, persetan dengan semuanya. Bukankah prinsip
adalah penyakit juga? Dan sekarang kuminta dengan hormat padamu; hentikan sikap
sok mu itu. Sadarlah, bahwa dalam peristiwa seperti ini yang sangat dibutuhkan
segera adalah perbuatan. Tindakan cepat! Dan itu adalah menolong aku berbuat
sesuatu dengan wanita pingsan ini.
LSB Kalau
aku tak salah, dengan orang pingsan, entah dia laki-laki atau perempuan kita
tak dapat melakukan apa-apa selain menunggu ia siuman. Tapi…
OT Tapi apa?
LSB Ya…bisa saja; dengan wanita yang….
OT Yang…
Tiba-tiba bayi dalam kereta menangis
W (mendengar
bayinya menangis. W tersadar, tiba-tiba ia berdiri dan bergegas menuju kereta)
Anakku…anakku
(berusaha meredakan tangis bayinya dengan cara menggoyang-goyang kereta itu)
Kalian telah membangunkannya! Laki-laki kasar kalian! (bayi menangis terus)
OT, PB dan LSB saling berpandangan
W Sungguh
kasar kalian! Kasar…(ke bayi dalam kereta) ssst…sst… diamlah nak.
Laki-laki semuanya sama saja, kasar. Tanpa kecuali.
LSB Stop! Stop! Hentikan air matamu.
Tangisan bayi makin menjadi-jadi.
LSB (mendekati kereta bayi) Stop!
Jangan menangis! Stop!
W (mencegah LSB) Jangan! Jangan
apa-apakan anakku!
PB (menahan
LSB) apa-apaan ini? Kau mau membunuh bayi ini ha!? Gila! Benar-benar
sinting kau!
LSB (dalam
rangkulan PB) sudah kukatakan berhenti! Stop! Jangan menangis. Jangan lagi
ada yang menangis! Jangan lagi ada yang menangis…aku tak kuat mendengarnya… tak
kuat… (menangis tersedu-sedu).
OT,
W dan PB melihat haru pada LSB yang mencoba meredakan tangisnya. Dalam isaknya
LSB terus berkata; janganlah…lagi ada yang menangis…. Aku tak kuat…tak kuat
melihatnya.
PB (kepada W) sebaiknya Ibu
pergi saja sekarang.
OT Ya,
kau sebenarnya telah menyebutkan kata yang setepatnya. Yakni Ibu. (kepada W)
ya, sebaiknya Ibu pergi saja.
W (agak
gugup) Ibu… saya Ibu… (melihat kepada bayinya dalam kereta) baik,
baik. Saya kira juga lebih baik bila saya pergi.
OT Nah
bagus. Dan jagalah dia (melihat ke dalam kereta) baik. Dia (OT lalu berdiri di samping W melongok
bayi) sungguh manis, anak yang sehat. (menggelitik bayi dalam kereta.
Terdengar tawa bayi)
PB (berdiri di samping OT dan W,
ikut melihat lucu bayi dalam kereta)
LSB (isaknya berhenti dan juga
pelan-pelan pergi berdiri di samping bayi dalam kereta)
OT (terus
menggelitik bayi yang terus tertawa) Nah, dengar tuh. Hujan akan turun.
Lekaslah Ibu pulang.
PB Nanti dia (menunjuk bayi)
basah, bisa sakit.
LSB Kalau Ibu bergegas, tentunya Ibu
tidak akan kehujanan.
W Baiklah
(melihat terharu kepada ketiganya) terima kasih banyak, teman-teman!
Berkat kalian aku telah menemukan diriku kembali. Pertemuan dengan kalian ini
tak akan mudah aku lupakan. (menjabat tangan PB) maafkanlah aku yang
telah membuatmu malu (menjabat tangan LSB, kemudian OT) Mohon saudara
memaafkan aku, semoga kita bisa bertemu lagi. (pergi keluar panggung).
OT/LSB/PB Sampai
Bertemu lagi bu…(kemudian mereka saling pandang penuh arti)
BUNYI PETIR
LSB Langit telah gelap. Hari mau hujan.
OT (dengan jenaka) kata siapa?
LSB alaaa… kamu meledek?
OT Siapa yang meledek? Lihat tuh,
langit justru mulai terang.
OT, LSB dan PB (sama-sama
memandang langit)
PB Sungguh ajaib! Langit benar-benar
mulai terang.
LSB (heran) Lalu halilintar tadi?
OT (tambah
jenaka) Ya, tetap petir dong. Soalnya sekarang adalah, bahwa petir yang
barusan saja kita dengar itu sedikitpun tak mempunyai sangkut-paut dengan
hujan. Hujan tak akan turun, jelas?
LSB Sungguh saya makin tak paham.(geleng
kepala lalu duduk di bangku)
PB Dan
saya, sekiranya ditanyakan secara jujur kepada saya sedikitpun tak memahami apa
yang sebenarnya terjadi di antara kalian berdua. (duduk di bangku. Memungut
pecahan balon di tanah. Meniup sobekannya menjadi balon kecil).
OT Itulah
lucunya dari tiap taman. Setiap orang yang datang, lewat di taman menganggap
dirinya merdeka untuk mencampuri setiap pembicaraan. Ya, setiap penghidupan
yang kebetulan sedang berlaku di situ.
LSB Habis,
ini kan taman!? Ini adalah tempat terbuka bagi umum. Di setiap tempat umum, ada
pembicaraan umum. Oleh sebab itu, setiap orang boleh saja terus ikut bicara.
Demi pendapat umum! Kalau bapak ingin punya pendapat sendiri, janganlah datang
ke taman.
OT Lalu saya harus kemana?
LSB Kemana saja, asal jangan ke taman.
OT kau enak saja bicara. Kemana saja!? (sedih,
pilu) saya tak dapat kemana-mana.
LSB Kenapa?
OT (tiba-tiba menangis) Tak ada
seorangpun yang menginginkan saya. Tak seorang pun.
LSB Anak bapak?
OT Delapan orang. Tapi tak seorangpun
dari mereka menyukai saya.
LSB Terlalu! Lalu istri bapak?
OT (tiba-tiba meraung) Minah!
Minah!
PB (masih membuat balon-balon kecil)
siapa minah?
LSB Sst, Ibu. Maksud saya; istri bapak
kita ini.
PB (terperanjat) I-B-U?
LSB Sst, ibu maksud saya istri bapak
kita ini.
PB O…ngomong
dong dari tadi. Hiii, saya dibuat kaget oleh perkataan Ibu itu tadi… eh,
mengapa ibu, eh istri bapak kita ini rupanya?
LSB Ssst…Jangan kencang-kencang, sayapun
belum tahu.
OT (meraung) Minah! Minah!
LSB Siapa minah pak?
OT Minah! Minah!
LSB Apakah Minah istri bapak?
OT Minah! Kenapa kau tinggalkan aku?
LSB (kepada PB) O, jadi minah itu
memang istrinya dan rupanya minggat.
OT Minah!
Minah! Mengapa kau tinggalkan aku setelah hidup bahagia bersama delapan tahun.
LSB Delapan tahun. Kalau begitu tiap
tahun dia dapat anak satu.
PB Hebat juga si Minah, eh istri bapak
kita ini maksud saya.
LSB Hebat!?
Itu kau katakan hebat? Huh, begitu rupanya tanggapanmu tentang manusia dan
kemanusiaan ya? Itu tafsiranmu tentang wanita ya? Aku menyebutnya: ISENG!
Manusia lelaki yang tak punya fantasi, lalu merongrong tubuh manusia perempuan.
PB Merongrong
gimana heh? Kalau si perempuan tidak mau dirongrong, saya kira seluruh
persoalan dan filsafat iseng tidak akan pernah ada.
LSB Ah,
kau tahu apa? Seolah filsafat iseng itu hanya filsafat ranjang dan hormon yang
berlebihan saja. Seandainya bapak kita yang terhormat ini punya fantasi sedikit
saja, maka apa yang hendak aku katakan; alangkah baiknya, sekiranya selama
delapan tahun dia berumah tangga dengan istrinya yang bernama Minah itu cukup
membuat dua anak saja dan enam novel misalnya.
PB Aha…Rupanya
kau juga seorang pengarang. Pengarang gagal, yang terdampar ke taman untuk
menganalisa peristiwa-peristiwa kecil sebagai hiburan untuk melupakan
kegagalanmu itu.
LSB Tahu
apa pula kau soal makna sebenarnya dari kegagalan? Betapa banyak kejadian,
bahwa kegagalan itu merupakan penampilan yang paling prinsipil dalam
karya-karya yang punya mutu kepalang tanggung. Dan jangan lupa kau; tidak ada
yang lebih dapat merasakan apa arti berhasil selain dia yang telah mengalami
kegagalan.
OT Minah! O…Minah! Telah kucari-cari
kau kemana-mana. Dimana kau, O minah?
LSB Apa dia tak ada di rumah salah satu
anak bapak yang delapan itu?
OT tidak ada.
PB Apa Bapak sudah pasang iklan di
koran?
LSb Soal seperti ini tak layak
diiklankan.
PB Banyak
saya baca iklan demikian. Seperti yang saya baca tadi pagi di salah satu koran,
bunyinya:ADINDA NUR! KEMBALILAH KEPADA KAKANDA. PINTU RUMAH KAKANDA SELALU
TERBUKA LEBAR UNTUK KAU. KAKANDA TELAH MEMAAFKAN SEMUANYA.
LSB (marah)
laki-laki bubur! Setelah istrinya yang bernama nur itu berbuat jahannam dengan
laki-laki lain, kemudian ari ketahuan berbuat begitu, nah sekarang sang suami
berwatak daun pisang pembungkus itu mau mengambil sikap seorang pahlawan dari
roman-roman abad pertengahan. Dan sikap ini di pertontonkannya pada kita,
masyarakat abad ke 20 ini, melaluui medium komunikasi yang paling murah dan
paling vulgar; surat kabar. Anjing!
PB Vulgar!
Pasang iklan di surat kabar adalah cara praktis. Dan jangan lupa, bukan Cuma
suami si Nur itu saja yang yang telah berbuat seperti itu.
LSB Pers
abad ke 21 ini akan lebih tertolong apabila mereka menolak iklan-iklan bergaya
suami si Nur itu. Dan tahukah kita berapa lagi berkeliaran lelaki macam suami
si Nur ini di luar kantor iklan surat kabar? Bayangkan, sekiranya semua senasib
dengan suami si Nur ini berbuat hal yang sama.
OT (memotong)Saya juga telah
menyuruh siarkan kehilangan Minah melalui radio.
LSB Ck…ck…hebat. Lantas hasilnya
bagaimana?
OT Nol
LSB Seperti yang kuduga.ckckck…
OT (kembali meraung-raung)
Minah! O, Minaaah!
LSB (Dengan
sikap yang agak menyangsikan) Tunggu dulu pak. Minah ini sebenarnya siapa?
OT (dengan suara datar) Kucing
betina saya.
LSB/PB Kkk…ucing!?
OT Dia
senantiasa pulang kembali. Tapi kali ini, dia telah menghilang lebih dari
seminggu (meraung) Minah! Minah!.
LSB (Kesal) Kucing! Dan istri bapak sendiri ada di mana?
OT ada di rumah.
LSB Di rumah? Rumah siapa?
OT Rumah saya.
LSB Rupanya
bapak mau mempermainkan kami. Kata bapak tadi, bapak tidak bias kemana-mana.
Tak seorangpun menyukai bapak.
OT itu benar. Dan istri saya juga tidak
menyukai saya.
LSB Mengapa?
OT Dia
istri saya yang kedua. Dia hanya menginginkan harta saya saja. Setelah harta
saya habis, dia pun tak menginginkan saya lagi.
LSB Lalu siapa yang ingin dilihatnya
sekarang?
OT Laki-laki lain. Lebih muda, lebih
gagah.
LSB Hmmm,
tentu saja, masa dia mencari laki-laki yang lebih tua dan lebih buruk dari
bapak. Dan kini dimana laki-laki itu?
OT Sudah tentu di rumah saya.
LSB Hmm, ya sudah tentu.
OT Dia telah menggantikan kedudukan
saya di rumah.
LSB Hm… tentu saja. Kecuali sikat gigi
bapak saja yang saya kira tak diambilnya.
OT Juga sikat gigi saya.
LSB Wah,
laki laki yang sungguh hebat. Sungguh hebat! Juga sikat gigi bapak! Lalu bapak
tidur dimana kini?
OT Di rumah saya juga. Tapi di
gudangnya. Sebelah kamar babu dan bersama Minah.
LSB Kalaulah
saya boleh bertanya terakhir kalinya, istri bapak yang pertama ada di mana
sekarang?
OT Mati, delapan tahun silam.
LSB Namanya?
OT Minah. (tiba-tiba meraung)
Minah! Minah!
LSB (termangu, mengerti duduk
perkaranya sekarang)
PB Bangsat! (memecahkan balon-balon
kecil yang dibuatnya)
LSB Hei kenapa kamu?
PB (sangat
marah, sebuah balon kiranya sangat sulit untuk dipecahkan. Lalu ditaruhnya di
tanah. Di injak) bangsat! (Keluar panggung).
DIKEJAUHAN TERDENGAR SUARA
LONCENG GEREJA. MENANDAKAN SUDAH PETANG.
LSB (setelah
diam hening sejenak) hari telah petang pak, pulanglah ke rumah. Itu lebih
baik bagimu dan bagiku.
OT (pilu) Pulang ke rumah mana
nak?
LSB Ke gudang apekmu. Sebelah kamar
babumu.
OT Tanpa minah?
LSB (pilu) Tanpa Minah. Minah
kedua-duanya.
OT (menangis) Tak dapat aku,
nak. Tak dapat. Lagipula aku tak mau.
LSB Pulanglah
pak, taman ini dibuat untuk dapat sekedar menghibur warga kotanya yang letih
dan risau. Apapula yang akan mereka katakan nanti di korang, bila esok mereka
mendapati bapak di sini mati kedinginan.
OT Mati bagiku lebih baik dalam keadaan
begini. Minah tak ada lagi. Minah….
LSB Benar,
dan aku pun sependapat dengan bapak. Hanya kematian bapak dalam gudang apek itu
akan lebih enak dibanding di sini.
OT Mati di taman lebih indah.
LSB (ketir)
Indah. Ya…bagi pencinta roman picisan, yang menyukai judul-judul seperti ‘Mati
di tengah Taman’ atau ‘Taman maut’ pulanglah pak, nantikanlah dengan tawakal di
gudang apekmu yang penuh cecunguk dan tikus itu di hari penghabisanmu. Sungguh
sangat menyedihkan! Tapi saying sekali…Jalan lain tak ada lagi bagi bapak.
OT (merenung) Cecunguk, tikus…
LSB …dan kesepian.
OT Dan kau nak, bagaimana kau sendiri?
LSB (tersenyum)
Tak lebih baik sedikitpun dari bapak. Habis, kita mau berbuat apa lagi? Seperti
kata Penjual Balon tadi; saya mencoba menjadikan kegagalanku sebagai tontonan
indah di Taman. Bapak lihat bunga itu? Di sana? Bagus bukan? Dana bapak baca
tulisan di papannya? “DILARANG MEMETIK BUNGA”…(tersenyum)…
OT Ya,
kau pengarang, mahir benar kau memendamkan deritamu di balik kata-kata yang
sewaktu-waktu dapat kau hamburkan. Tapi bagaimana nak dengan kesunyianmu? Ikut
saya saja ke gudang apek itu, menghibur saya.
LSB Terima
kasih pak, kebersamaan kita seperti yang bapak katakan, itu lebih parah
daripada kesendirian kita masing-masing.
OT Naluri saya! Ingat, ini naluri
orang tua lho. Berkata, keadaan anak tak jauh bedanya dengan keadaan saya.
LSB saya. Kemungkinan kesepian pada
saya jauh lebih banyak.
OT artinya anak tak mau ikut saya?
LSB Selamat malam pak, (bersalaman)
siapa tahu besok kita akan bertemu lagi.
OT Dengan keadaan kita seperti ini?
LSB Justeru karena keadaan kita seperti
ini.
OT (tertawa)
Tidak, tidak. Aku tak mau bertemu kamu lagi! (tersenyum) selamat malam,
nak. Semoga tidurmu nyenyak (sambil batuk, ia pergi keluar panggung)
LSB menaikkan kerah bajunya.
Bangku dibersihkan dengan tanganya. Semua gerak-geriknya menandakan ia mau
tidur malam itu. Seperti juga malam-malam sebelumnya dan malam yang akan
datang. Di bangku itu….
LSB (melihat
ke langit) Syukurlah hujan tak akan turun. Atau…mudah-mudahan hujan tak
turun malam ini. Tidur di kolong jembatan, dengan udara kotorannya yang
bertumpuk di situ. Membuat bengekku kambuh lagi.
(IA MELIHAT SEKELILING,
KALAU-KALAU ADA ORANG DATING. KEMUDIAN IA MEREBAHKAN DIRI, SUARA BINATANG MALAM
MULAI TERDENGAR. ANGIN MENGHEMBUS, DEDAUNAN DI TAMAN BERGEMERISIK. DI KEJAUHAN
TERDENGAR SALAK ANJING, DERU MOBIL. TAK BERAPA LAMA TERDENGAR SUARA LELAKI DAN
PEREMPUAN. TERTAWA GENIT DAN MAKIN DEKAT. MASUKLAH SEPASANG MUDA-MUDI
BERPEGANGAN TANGAN ERAT SEKAALI KE PINGGANG)
Gadis (melihat ke LSB) ssst, ada
orang.
LSB (tertawa)
Ya, ya. Bangku ini sudaah ada orangnya. (dia duduk di bangku) Tapi
inikan taman. Di sebelah sana ada bangku kosong. (tertawa) kesanalah
kalian. Saya tak akan melihat… lagipula saayaa sangat mengantuk.
Gadis
dan pemuda malu.
LSB Ayo
pergilah kesana. Jangan sia-siakan kesempatan. Selagi kalian masih muda. Saya
benar-benar tak akan melihat, sungguh. Lagipula saya amat letih.
Gadis
daan Pemuda ragu-raagu sebentar, kemudian pergi kea rah yang ditunjuk LSB.
LSB (tertawa
mengerti, sejenak ia mengikuti keduanya dengan matanya. Kemudian merebahkan
diri di bangku itu) Lagipula saya sangat mengantuk, letih…lelah….
SUARA BINATANG MALAM MAKIN
NYARING, ANGIN BERHEMBUS, SALAK ANJING DAAN KERETA YANG LEWAT
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar