Jumat, 06 April 2012

naskah TAMAN


(TAMAN, BANGKU. OT MASUK, BATUK-BATUK, DUDUK DI BANGKU. MASUK LSB, DUDUK DI BANGKU)
LSB                 Mau hujan
OT                   Apa?
LSB                 Hari mau hujan, langit mulai mendung.
OT                   Ini musim hujan?
LSB                 Bukan. Musim kemarau.
OT                   Di musim kemarau, hujan tak turun.
LSB                 Kata siapa?
                        Terdengar petir
OT                   Ini bulan apa?
LSB                 Entah.
OT                   Kalau begitu saya benar. Ini musim hujan.
LSB                 Memang sekarang bulan apa?
OT                   Entah.
LSB                 Kalau begitu saya benar. Ini musim kemarau.
OT                   Salah seorang dari kita pasti benar.
LSB                 Kalau begitu, baiklah, saya kalah. Ini musim hujan.
OT                   Tidak, tidak. Yang lebih tua mesti tahu diri, dan mau mengalah. Ini musim kemarau.
                        Bunyi petir
OT                   Ternyata kita salah.
LSB                 Maksudmu, bukan musim kemarau daan bukan musim hujan?
OT                   Habis mau apa lagi?
LSB                 Beginilah kalau kita gila hormat.
OT                   Maumu bagaimana?
LSB                 Akh, kita bisa sedikit main kasar.
OT                   Lantas?
LSB                 Supaya lebih jelas, musim apa sebenarnya sekarang?
OT                   Dan kalau sudah bertambah jelas?
LSB                 (diam)
OT                   (merenung) Dan kalau semuanya bertambah jelas, maka kit pun sudah berkelahi, karena perdebatan barusan, dan siapa tahu salah seoraang dari kita mati karena perdebatan itu. Atau kita berdua. Dan ini semua hanya gara-gara kita mencoba mengambil sikap agak kasar terhadap sesama. (tiba-tiba marah). Bah! Persetan dengan musim! Dengan segala musim!.

(BUNYI PETIR. TAK BERAPA LAMA KEMUDIAN MASUK PB. BALONNYA BERANEKA WARNA)

OT                   (kepada PB) Silahkan duduk.
PB                   (bimbang, tetap berdiri)
OT                   Ayo, silahkan duduk. (menepi)
LSB                 Tentu saja dia ragu.
OT                   Memangnya kenapa?
LSB                 Pakai silahkan segala!. Ini kan taman! (tiba-tiba marah) dia duduk atau tidak, terserah dia, habis perkara! (melihat geram kepada PB)
PB                   (duduk)
LSB                 (masih marah) kenapa kau duduk!?
PB                   Ee…saya mau duduk.
OT                   (tertawa keras)
LSB                 (Sangat marah) Kenapa bapak tertawa?
OT                   (masih tertawa) Karena…saya mau tertawa…(terbahak-bahak)

(SUARA PETIR, ANGIN BERHEMBUS, SEBUAH BALON HAMPIR TERLEPAS. SEGERA PB MENANGKAPNYA. LSB MENERKAM BALON ITU, AGAR BALON ITU LEPAS KE UDARA. PB DAN LSB BERGUMUL. BALON-BALON LAINNYA KINI LEPAS DARI TANGAN PB, TERBANG KE UDARA. SEBUAH BALON TERTANGKAP OLEH OT. KEMUDIAN IA MEMAINKANNYA DENGAN GEMBIRA SEPERTI KANAK-KANAK)

LSB                 (lepas dari pergulatan dengan PB, ia berdiri, napasnya tersengal-sengal)
PB                   (duduk di tanah, menangis)
OT                   (masih asyik bermain balon)
LSB                 (kepada PB) Mengapa…Hei, mengapa menangis?
PB                   (diam, terus di tanah; menangis)
LSB                 (marah) Hei, kenapa kau menangis?
OT                   (sambil terus bermain balon) Karena dia memang mau menangis.
PB                   (tiba-tiba) bukan! Bukan itu sebabnya!
OT/LSB                       (tercengang)
LSB                 Kalau begitu, kau menangis karena apa?
PB                   Karena balon-balon saya terbang.
OT                   (mengerti) Oo…dia pedagang yang merasa dirugikan. Karena balonnya terbang.
LSB                 Oo, itu… ini! (merogoh dompetnya dari saku belakang) nah, ini sekedar pengganti kerugian.
PB                   (berdiri) tidak! (duduk di bangku, tangisnya menjadi-jadi) saya tak mau dibayar.
OT/LSB                       Tidak mau!?
PB                   (menggeleng-gelengkan kepalanya)
LSB                 Mengapa?
PB                   Saya lebih suka balon.
LSB                 (tak mengerti) Tapi, kau pedagang balon kan?
PB                   Itu alasan saya saja untuk dapat memegang balon. Saya pencinta balon.
LSB                 Apa maksudmu?
OT                   Mengapa merasa aneh? Dia pencinta balon, titik. Seperti juga orang lain, pencinta harmonika, pencinta mobil balap, pencinta perempuan cantik. Apa anehnya dari semua itu?
LSB                 (masih heran) Jadi kau bukan penjual balon?
OT                   Ini, terima kembali balonmu.
PB                   Tidak, bapak pegang sajalah.
OT                   (heran) saya pegang?
PB                   Karena saya lihat bapak juga menyukainya. Saya suka melihat orang yang suka.
OT                   Ahh, ini bukan lagi kesukaan namanya, tapi kenangan. Tidak nak, sebaiknya kau ambil kembali balonmu ini.
PB                   Saya tak sudi dan tak berhak menerima kenangan orang (menolak balon)
                        Masuk W, mendorong kereta bayi.
W                    (menggapai ke arah balon) berikan pada saya saja, jika memang tak seorangpun yang mau.
OT                   (tiba-tiba memecahkan balon itu, lalu melihat ke arah W)
LSB                 (marah) Hei mengapa bapak pecahkan?
OT                   Karena saya memang mau memecahkannya. Ngerti? (tertawa)
LSB                 Bangsat! Dasar orangtua keparat! (menubruk OT)
W                    (melerai) sudah. Sudah! Jangan berkelahi hanya karena itu, bukan ini yang saya  maksud tadi.
LSB                 Lepaskan! Lepaskan aku! Biar kuhajar dia!
W                    Jangan! Jangan! (menangis)
LSB                 (kesal melihat W menangis) Ah, air mata lagi! Persetan! Mengapa nyonya datang kesini!?
W                    (tiba-tiba marah) siapa bilang saya nyonya!?
LSB                 O…baik, baik! Jadi nyonya bukan nyonya. Kalau begitu nyonya apa? Nona barangkali!?
W                    (gugup) Ti…(menangis)
OT                   Ahaa..! nyonya bukan, nonapun bukan. Lantas apa? Ahaa…(tertawa)
PB                   Sungguh kasar, biadab kalian! (menuntun W duduk di bangku). Sudahlah bu, jangan hiraukan mereka, sebaiknya ibu lekas pergi saja dari sini, sebelum mereka menghina ibu lebih parah lagi nanti. Pergilah!
OT                   (kepada PB)Ahaaa…pergi dengan kau? Ahaaa! Akhirnya sang putri bertemu sang pangerannya di tengah taman. Dan…ahaa! Si anakpun bertemu dengan bapaknya!...(terbahak).
PB                   (tersadar) siapa bilang saya….(melihat silih berganti pada OT, W dan ke dalam kereta bayi) tidak, tidak. Saya bukan….
OT                   (memotong) Bukan apanya nak?
PB                   (pada OT) Bapak mau menuduh saya?
LSB                 Menuduh apa bung? Kau tampaknya begitu bernafsu bicara soal suatu tuduhan yang sebenarnya tak ada. Kemudian, kau tampaknya bernafsu menolak tuduhan itu, hingga…(tertawa) saya kini benar-benar mulai curiga dan menuduh kau tentang suatu yang…terus terang saja, sesuatu yang belum jelas bagi saya.
PB                   (bingung) tidak! Tidak!
W                    (bernafsu mendekati PB, memperhatikan wajahnya dengan teliti)
PB                   (semakin gugup) Tidak! Tidak! Bukan saya! (mencoba menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya)
W                    (geram) Ayo, buka tanganmu, aku mau melihat kau! Ayo! (merenggut tangan PB dari wajahnya).
PB                   Tidak! Bukan saya! Bukan!
W                    Jahanam! Ayo, buka tanganmu kataku! Buka! Bukaaa!
PB                   Bukan saya! Bukan saya!
W                    Kurang ajar! Kau telah lari ha! Lari dan kau tinggalkan aku sendirian. Karena perbuatanmu aku harus menanggung semuanya. Aku seorang wanita, sendirian! Cuih! Ayo buka!
PB                   Bukan saya! Bukan saya!
OT                   (nyeltuk) itu sudah cukup, tolol!
LSB                 (menimpal OT) belum tentu. Menurut ilmu kedokteran modern…
W                    Ayo buka tanganmu! (pada OT/LSB) bantu saya, saudara.
LSB                 Bukan saya  tak mau menolong, tapi saya secara prinsipil tak mau ikut campur dalam urusan yang bukan urusan saya.
W                    (pada OT) Ayo pak, tolong saya.
OT                   saya Cuma orang tua.
LSB                 Sial! Apa maksud perkataanmu; saya orang tua. Semua juga tahu, bapak memang seorang tua, dan sedikitpun tak ada memperlihatkan tanda-tanda bapak adalah kebalikan dari ucapan itu.
OT                   (geli) katakanlah saya hanya ingin mempertegas  kedudukan  saya dalam peristiwa yang kita hadapi ini. Ke-tua-an saya melarang saaya terlibat sedikitpun ke dalamnya. Dan kalaau kalian tanyakan bagaimana pendirian saya dalam peristiwa yang sedikit rumit ini, maka jawab saja, saya pro pada kalian berdua, lepas dari pertanyaan apakah benar atau tidak, peristiwa itu telah benar-benar terjadi. Tegasnya; saya pro pada setiap peristiwa beginian.
LSB                 Omong kosong! Yang diminta sekarang dari bapak adalah perbuatan!
OT                   Kata-kata saya sekarang merupakan pendirian dan perbuatan saya.
LSb                  Bagus, bagus! Bicaralah terus dan sebentar lagi kita saksikan mereka berdua akan saling bantai (maju menolong W merenggut tangan PB dari mukanya)
PB                   (meraung) Bukan saya! Bukan saya! Sungguh mati, saya cuma melakukannya satu kali saja, tak lebih…
OT                   (geli)…dan tak kurang!
LSB                 Diam bangsat! Cuma sekali….itukan sudaah cukup? Maumu berapa kali ha? Serakah! Jadi kau mengaku sekarang!?
W                    (histeris)  aku….aku ditinggalkanya dan dia menghilang, meninggalkan aku menghadapi akibatnya. (geram) ayo buka tanganmu!
LSB                 Buka! Buka!
Setelah bergumul, LSB behasil membuka tangan PB dari wajahnya, lantas tangan PB dikepit ke belakang punggungnya.
PB                   Bukan, bukan saya!
W                    (maju dekat sekali ke wajah PB) Bangsat! Laki-laki jahanam! Kurang aj…(tiba-tiba memekik) Bukan! Bukan! Ya Tuhan, bukan dia.
LSB/OT                       (serentak) Bukan dia!?
W                    Bukan….(pingsan, segera dipegang OT)
PB                   (teriak putus asa) Bukan saya, bukan saya! Cuma sekali! Cuma sekali!
LSB                 (gemas, melepaskan kedua tangan PB) Huh…bukan kau!.
PB                   Bukan! Bukan saya, cuma sekali!
OT                   (repot mengipasi W yang sudah dibaringkan di bangku) Sudah! Cukup! Biar kau melakukannya lebih dari sekali tidak penting lagi. Kemarilah, daripada kau berteriak-teriak begitu, lebih baik kau (melihat ke LSB) kalian menolong wanita ini.
LSB                 Menolong bagaimana?
OT                   (sangat kesal) Ya, menolong dengan melakukan apa yang lazimnya dilakukan untuk orang pingsan.
LSB                 Saya merasa segan.
OT                   Segan? Kenapa?
LSB                 Dia, eh…perempuan.
OT                   …dan kau laki-laki. Lagi-lagi ucapan camplang. Semua orang juga tahu, dia ini perempuan dan kau laki-laki. Lantas kau mau apa?
LSB                 Maksud saya…saya…eh segan bersentuhan dengan tubuh perempuan.
OT                   Apa? Apa-apan ini!? Ayo, lupakan ke lelakianmu dan tolong aku.
LSB                 Saya adalah jenis laki-laki yang bila bersentuhan dengan tubuh perempuan bisa saja terus…
OT                   (cepat-cepat memotong) saya tahu. Tapi  laki-laki mana yang tidak!?
LSB                 O…Jadi bapak juga memiliki prinsip yang sama?
OT                   (tercengang) Prinsip? Akh, kata siapa ini soal prinsip. Aku malah lebih cenderung menyebutnya sebagai penyakit. Akh, persetan dengan semuanya. Bukankah prinsip adalah penyakit juga? Dan sekarang kuminta dengan hormat padamu; hentikan sikap sok mu itu. Sadarlah, bahwa dalam peristiwa seperti ini yang sangat dibutuhkan segera adalah perbuatan. Tindakan cepat! Dan itu adalah menolong aku berbuat sesuatu dengan wanita pingsan ini.
LSB                 Kalau aku tak salah, dengan orang pingsan, entah dia laki-laki atau perempuan kita tak dapat melakukan apa-apa selain menunggu ia siuman. Tapi…
OT                   Tapi apa?
LSB                 Ya…bisa saja; dengan wanita yang….
OT                   Yang…
                        Tiba-tiba bayi dalam kereta menangis
W                    (mendengar bayinya menangis. W tersadar, tiba-tiba ia berdiri dan bergegas menuju kereta)
Anakku…anakku (berusaha meredakan tangis bayinya dengan cara menggoyang-goyang kereta itu) Kalian telah membangunkannya! Laki-laki kasar kalian! (bayi menangis terus)
                        OT, PB dan LSB saling berpandangan
W                    Sungguh kasar kalian! Kasar…(ke bayi dalam kereta) ssst…sst… diamlah nak. Laki-laki semuanya sama saja, kasar. Tanpa kecuali.
LSB                 Stop! Stop! Hentikan air matamu.
                        Tangisan bayi makin menjadi-jadi.
LSB                 (mendekati kereta bayi) Stop! Jangan menangis! Stop!
W                    (mencegah LSB) Jangan! Jangan apa-apakan anakku!
PB                   (menahan LSB) apa-apaan ini? Kau mau membunuh bayi ini ha!? Gila! Benar-benar sinting kau!
LSB                 (dalam rangkulan PB) sudah kukatakan berhenti! Stop! Jangan menangis. Jangan lagi ada yang menangis! Jangan lagi ada yang menangis…aku tak kuat mendengarnya… tak kuat… (menangis tersedu-sedu).
OT, W dan PB melihat haru pada LSB yang mencoba meredakan tangisnya. Dalam isaknya LSB terus berkata; janganlah…lagi ada yang menangis…. Aku tak kuat…tak kuat melihatnya.
PB                   (kepada W) sebaiknya Ibu pergi saja sekarang.
OT                   Ya, kau sebenarnya telah menyebutkan kata yang setepatnya. Yakni Ibu. (kepada W) ya, sebaiknya Ibu pergi saja.
W                    (agak gugup) Ibu… saya Ibu… (melihat kepada bayinya dalam kereta) baik, baik. Saya kira juga lebih baik bila saya pergi.
OT                   Nah bagus. Dan jagalah dia (melihat ke dalam kereta) baik.  Dia (OT lalu berdiri di samping W melongok bayi) sungguh manis, anak yang sehat. (menggelitik bayi dalam kereta. Terdengar tawa bayi)
PB                   (berdiri di samping OT dan W, ikut melihat lucu bayi dalam kereta)
LSB                 (isaknya berhenti dan juga pelan-pelan pergi berdiri di samping bayi dalam kereta)
OT                   (terus menggelitik bayi yang terus tertawa) Nah, dengar tuh. Hujan akan turun. Lekaslah Ibu pulang.
PB                   Nanti dia (menunjuk bayi) basah, bisa sakit.
LSB                 Kalau Ibu bergegas, tentunya Ibu tidak akan kehujanan.
W                    Baiklah (melihat terharu kepada ketiganya) terima kasih banyak, teman-teman! Berkat kalian aku telah menemukan diriku kembali. Pertemuan dengan kalian ini tak akan mudah aku lupakan. (menjabat tangan PB) maafkanlah aku yang telah membuatmu malu (menjabat tangan LSB, kemudian OT) Mohon saudara memaafkan aku, semoga kita bisa bertemu lagi. (pergi keluar panggung).
OT/LSB/PB     Sampai Bertemu lagi bu…(kemudian mereka saling pandang penuh arti)
                        BUNYI PETIR
LSB                 Langit telah gelap. Hari mau hujan.
OT                   (dengan jenaka) kata siapa?
LSB                 alaaa… kamu meledek?
OT                   Siapa yang meledek? Lihat tuh, langit justru mulai terang.
OT, LSB dan PB (sama-sama memandang langit)
PB                   Sungguh ajaib! Langit benar-benar mulai terang.
LSB                 (heran) Lalu halilintar tadi?
OT                   (tambah jenaka) Ya, tetap petir dong. Soalnya sekarang adalah, bahwa petir yang barusan saja kita dengar itu sedikitpun tak mempunyai sangkut-paut dengan hujan. Hujan tak akan turun, jelas?
LSB                 Sungguh saya makin tak paham.(geleng kepala lalu duduk di bangku)
PB                   Dan saya, sekiranya ditanyakan secara jujur kepada saya sedikitpun tak memahami apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian berdua. (duduk di bangku. Memungut pecahan balon di tanah. Meniup sobekannya menjadi balon kecil).
OT                   Itulah lucunya dari tiap taman. Setiap orang yang datang, lewat di taman menganggap dirinya merdeka untuk mencampuri setiap pembicaraan. Ya, setiap penghidupan yang kebetulan sedang berlaku di situ.
LSB                 Habis, ini kan taman!? Ini adalah tempat terbuka bagi umum. Di setiap tempat umum, ada pembicaraan umum. Oleh sebab itu, setiap orang boleh saja terus ikut bicara. Demi pendapat umum! Kalau bapak ingin punya pendapat sendiri, janganlah datang ke taman.
OT                   Lalu saya harus kemana?
LSB                 Kemana saja, asal jangan ke taman.
OT                   kau enak saja bicara. Kemana saja!? (sedih, pilu) saya tak dapat kemana-mana.
LSB                 Kenapa?
OT                   (tiba-tiba menangis) Tak ada seorangpun yang menginginkan saya. Tak seorang pun.
LSB                 Anak bapak?
OT                   Delapan orang. Tapi tak seorangpun dari mereka menyukai saya.
LSB                 Terlalu! Lalu istri bapak?
OT                   (tiba-tiba meraung) Minah! Minah!
PB                   (masih membuat balon-balon kecil) siapa minah?
LSB                 Sst, Ibu. Maksud saya; istri bapak kita ini.
PB                   (terperanjat) I-B-U?
LSB                 Sst, ibu maksud saya istri bapak kita ini.
PB                   O…ngomong dong dari tadi. Hiii, saya dibuat kaget oleh perkataan Ibu itu tadi… eh, mengapa ibu, eh istri bapak kita ini rupanya?
LSB                 Ssst…Jangan kencang-kencang, sayapun belum tahu.
OT                   (meraung) Minah! Minah!
LSB                 Siapa minah pak?
OT                   Minah! Minah!
LSB                 Apakah Minah istri bapak?
OT                   Minah! Kenapa kau tinggalkan aku?
LSB                 (kepada PB) O, jadi minah itu memang istrinya dan rupanya minggat.
OT                   Minah! Minah! Mengapa kau tinggalkan aku setelah hidup bahagia bersama delapan tahun.
LSB                 Delapan tahun. Kalau begitu tiap tahun dia dapat anak satu.
PB                   Hebat juga si Minah, eh istri bapak kita ini maksud saya.
LSB                 Hebat!? Itu kau katakan hebat? Huh, begitu rupanya tanggapanmu tentang manusia dan kemanusiaan ya? Itu tafsiranmu tentang wanita ya? Aku menyebutnya: ISENG! Manusia lelaki yang tak punya fantasi, lalu merongrong tubuh manusia perempuan.
PB                   Merongrong gimana heh? Kalau si perempuan tidak mau dirongrong, saya kira seluruh persoalan dan filsafat iseng tidak akan pernah ada.
LSB                 Ah, kau tahu apa? Seolah filsafat iseng itu hanya filsafat ranjang dan hormon yang berlebihan saja. Seandainya bapak kita yang terhormat ini punya fantasi sedikit saja, maka apa yang hendak aku katakan; alangkah baiknya, sekiranya selama delapan tahun dia berumah tangga dengan istrinya yang bernama Minah itu cukup membuat dua anak saja dan enam novel misalnya.
PB                   Aha…Rupanya kau juga seorang pengarang. Pengarang gagal, yang terdampar ke taman untuk menganalisa peristiwa-peristiwa kecil sebagai hiburan untuk melupakan kegagalanmu itu.
LSB                 Tahu apa pula kau soal makna sebenarnya dari kegagalan? Betapa banyak kejadian, bahwa kegagalan itu merupakan penampilan yang paling prinsipil dalam karya-karya yang punya mutu kepalang tanggung. Dan jangan lupa kau; tidak ada yang lebih dapat merasakan apa arti berhasil selain dia yang telah mengalami kegagalan.
OT                   Minah! O…Minah! Telah kucari-cari kau kemana-mana. Dimana kau, O minah?
LSB                 Apa dia tak ada di rumah salah satu anak bapak yang delapan itu?
OT                   tidak ada.
PB                   Apa Bapak sudah pasang iklan di koran?
LSb                  Soal seperti ini tak layak diiklankan.
PB                   Banyak saya baca iklan demikian. Seperti yang saya baca tadi pagi di salah satu koran, bunyinya:ADINDA NUR! KEMBALILAH KEPADA KAKANDA. PINTU RUMAH KAKANDA SELALU TERBUKA LEBAR UNTUK KAU. KAKANDA TELAH MEMAAFKAN SEMUANYA.
LSB                 (marah) laki-laki bubur! Setelah istrinya yang bernama nur itu berbuat jahannam dengan laki-laki lain, kemudian ari ketahuan berbuat begitu, nah sekarang sang suami berwatak daun pisang pembungkus itu mau mengambil sikap seorang pahlawan dari roman-roman abad pertengahan. Dan sikap ini di pertontonkannya pada kita, masyarakat abad ke 20 ini, melaluui medium komunikasi yang paling murah dan paling vulgar; surat kabar. Anjing!
PB                   Vulgar! Pasang iklan di surat kabar adalah cara praktis. Dan jangan lupa, bukan Cuma suami si Nur itu saja yang yang telah berbuat seperti itu.
LSB                 Pers abad ke 21 ini akan lebih tertolong apabila mereka menolak iklan-iklan bergaya suami si Nur itu. Dan tahukah kita berapa lagi berkeliaran lelaki macam suami si Nur ini di luar kantor iklan surat kabar? Bayangkan, sekiranya semua senasib dengan suami si Nur ini berbuat hal yang sama.
OT                   (memotong)Saya juga telah menyuruh siarkan kehilangan Minah melalui radio.
LSB                 Ck…ck…hebat. Lantas hasilnya bagaimana?
OT                   Nol
LSB                 Seperti yang kuduga.ckckck…
OT                   (kembali meraung-raung) Minah! O, Minaaah!
LSB                 (Dengan sikap yang agak menyangsikan) Tunggu dulu pak. Minah ini sebenarnya siapa?
OT                   (dengan suara datar) Kucing betina saya.
LSB/PB                       Kkk…ucing!?
OT                   Dia senantiasa pulang kembali. Tapi kali ini, dia telah menghilang lebih dari seminggu (meraung) Minah! Minah!.
LSB                 (Kesal) Kucing!           Dan istri bapak sendiri ada di mana?
OT                   ada di rumah.
LSB                 Di rumah? Rumah siapa?
OT                   Rumah saya.
LSB                 Rupanya bapak mau mempermainkan kami. Kata bapak tadi, bapak tidak bias kemana-mana. Tak seorangpun menyukai bapak.
OT                   itu benar. Dan istri saya juga tidak menyukai saya.
LSB                 Mengapa?
OT                   Dia istri saya yang kedua. Dia hanya menginginkan harta saya saja. Setelah harta saya habis, dia pun tak menginginkan saya lagi.
LSB                 Lalu siapa yang ingin dilihatnya sekarang?
OT                   Laki-laki lain. Lebih muda, lebih gagah.
LSB                 Hmmm, tentu saja, masa dia mencari laki-laki yang lebih tua dan lebih buruk dari bapak. Dan kini dimana laki-laki itu?
OT                   Sudah tentu di rumah saya.
LSB                 Hmm, ya sudah tentu.
OT                   Dia telah menggantikan kedudukan saya di rumah.
LSB                 Hm… tentu saja. Kecuali sikat gigi bapak saja yang saya kira tak diambilnya.
OT                   Juga sikat gigi saya.
LSB                 Wah, laki laki yang sungguh hebat. Sungguh hebat! Juga sikat gigi bapak! Lalu bapak tidur dimana kini?
OT                   Di rumah saya juga. Tapi di gudangnya. Sebelah kamar babu dan bersama Minah.
LSB                 Kalaulah saya boleh bertanya terakhir kalinya, istri bapak yang pertama ada di mana sekarang?
OT                   Mati, delapan tahun silam.
LSB                 Namanya?
OT                   Minah. (tiba-tiba meraung) Minah! Minah!
LSB                 (termangu, mengerti duduk perkaranya sekarang)
PB                   Bangsat! (memecahkan balon-balon kecil yang dibuatnya)
LSB                 Hei kenapa kamu?
PB                   (sangat marah, sebuah balon kiranya sangat sulit untuk dipecahkan. Lalu ditaruhnya di tanah. Di injak) bangsat! (Keluar panggung).
DIKEJAUHAN TERDENGAR SUARA LONCENG GEREJA. MENANDAKAN SUDAH PETANG.
LSB                 (setelah diam hening sejenak) hari telah petang pak, pulanglah ke rumah. Itu lebih baik bagimu dan bagiku.
OT                   (pilu) Pulang ke rumah mana nak?
LSB                 Ke gudang apekmu. Sebelah kamar babumu.
OT                   Tanpa minah?
LSB                 (pilu) Tanpa Minah. Minah kedua-duanya.
OT                   (menangis) Tak dapat aku, nak. Tak dapat. Lagipula aku tak mau.
LSB                 Pulanglah pak, taman ini dibuat untuk dapat sekedar menghibur warga kotanya yang letih dan risau. Apapula yang akan mereka katakan nanti di korang, bila esok mereka mendapati bapak di sini mati kedinginan.
OT                   Mati bagiku lebih baik dalam keadaan begini. Minah tak ada lagi. Minah….
LSB                 Benar, dan aku pun sependapat dengan bapak. Hanya kematian bapak dalam gudang apek itu akan lebih enak dibanding di sini.
OT                   Mati di taman lebih indah.
LSB                 (ketir) Indah. Ya…bagi pencinta roman picisan, yang menyukai judul-judul seperti ‘Mati di tengah Taman’ atau ‘Taman maut’ pulanglah pak, nantikanlah dengan tawakal di gudang apekmu yang penuh cecunguk dan tikus itu di hari penghabisanmu. Sungguh sangat menyedihkan! Tapi saying sekali…Jalan lain tak ada lagi bagi bapak.
OT                   (merenung) Cecunguk, tikus…
LSB                 …dan kesepian.
OT                   Dan kau nak, bagaimana kau sendiri?
LSB                 (tersenyum) Tak lebih baik sedikitpun dari bapak. Habis, kita mau berbuat apa lagi? Seperti kata Penjual Balon tadi; saya mencoba menjadikan kegagalanku sebagai tontonan indah di Taman. Bapak lihat bunga itu? Di sana? Bagus bukan? Dana bapak baca tulisan di papannya? “DILARANG MEMETIK BUNGA”…(tersenyum)…
OT                   Ya, kau pengarang, mahir benar kau memendamkan deritamu di balik kata-kata yang sewaktu-waktu dapat kau hamburkan. Tapi bagaimana nak dengan kesunyianmu? Ikut saya saja ke gudang apek itu, menghibur saya.
LSB                 Terima kasih pak, kebersamaan kita seperti yang bapak katakan, itu lebih parah daripada kesendirian kita masing-masing.
OT                   Naluri saya! Ingat, ini naluri orang tua lho. Berkata, keadaan anak tak jauh bedanya dengan keadaan saya.
LSB                 saya. Kemungkinan kesepian pada saya jauh lebih banyak.
OT                   artinya anak tak mau ikut saya?
LSB                 Selamat malam pak, (bersalaman) siapa tahu besok kita akan bertemu lagi.
OT                   Dengan keadaan kita seperti ini?
LSB                 Justeru karena keadaan kita seperti ini.
OT                   (tertawa) Tidak, tidak. Aku tak mau bertemu kamu lagi! (tersenyum) selamat malam, nak. Semoga tidurmu nyenyak (sambil batuk, ia pergi keluar panggung)
LSB menaikkan kerah bajunya. Bangku dibersihkan dengan tanganya. Semua gerak-geriknya menandakan ia mau tidur malam itu. Seperti juga malam-malam sebelumnya dan malam yang akan datang. Di bangku itu….
LSB                 (melihat ke langit) Syukurlah hujan tak akan turun. Atau…mudah-mudahan hujan tak turun malam ini. Tidur di kolong jembatan, dengan udara kotorannya yang bertumpuk di situ. Membuat bengekku kambuh lagi.
(IA MELIHAT SEKELILING, KALAU-KALAU ADA ORANG DATING. KEMUDIAN IA MEREBAHKAN DIRI, SUARA BINATANG MALAM MULAI TERDENGAR. ANGIN MENGHEMBUS, DEDAUNAN DI TAMAN BERGEMERISIK. DI KEJAUHAN TERDENGAR SALAK ANJING, DERU MOBIL. TAK BERAPA LAMA TERDENGAR SUARA LELAKI DAN PEREMPUAN. TERTAWA GENIT DAN MAKIN DEKAT. MASUKLAH SEPASANG MUDA-MUDI BERPEGANGAN TANGAN ERAT SEKAALI KE PINGGANG)
Gadis               (melihat ke LSB) ssst, ada orang.
LSB                 (tertawa) Ya, ya. Bangku ini sudaah ada orangnya. (dia duduk di bangku) Tapi inikan taman. Di sebelah sana ada bangku kosong. (tertawa) kesanalah kalian. Saya tak akan melihat… lagipula saayaa sangat mengantuk.
                        Gadis dan pemuda malu.
LSB                 Ayo pergilah kesana. Jangan sia-siakan kesempatan. Selagi kalian masih muda. Saya benar-benar tak akan melihat, sungguh. Lagipula saya amat letih.
                        Gadis daan Pemuda ragu-raagu sebentar, kemudian pergi kea rah yang ditunjuk LSB.
LSB                 (tertawa mengerti, sejenak ia mengikuti keduanya dengan matanya. Kemudian merebahkan diri di bangku itu) Lagipula saya sangat mengantuk, letih…lelah….
SUARA BINATANG MALAM MAKIN NYARING, ANGIN BERHEMBUS, SALAK ANJING DAAN KERETA YANG LEWAT
Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar