DEMANG LEHMAN
Karya : H. Adjim Arijadi
SPACE A: MERUPAKAN SEBUAH
RUANG KERJA PERWIRA BELANDA BERPANGKAT LETNAN KOLONEL DENGAN JABATAN RESIDEN.
Di ruangan ini mengesankan
bentuk dan gaya Eropah, dengan peralatan yang terdiri dari: satu meja kerja
lengkap dengan korsinya, ada beberapa kursi lainnya untuk para tamu menghadap
Residen.
Di atas meja kerja itu,
terdapat sebuah Globe, sebuah tongkat upacara, botol tinta lengkap dengan
tangkai pena yang terbuat dari bulu burung anggang.
Beberapa map berkas surat-surat
dokumentasi.
SPACE B: ADALAH TEMPAT
KERANGKENG YANG MEMBERI KESAN KAMAR TAHANAN. Di atas kerangkeng sekaligus bisa
dirombak menjadi level untuk menghukum mati seseorang. Itulah tiang gantungan
tempat menghukum gantung.
Pada balok palang tempat
tali tergantung, terdapat kain tergulung warna putih, yang pada saat-saat
tertentu, kain itu bisa diuraikan kebawah. Untuk menaiki level tempat gantungan
itu, tersedia trap atau anak tangga.
SPACE C: BERKESAN SEBAGAI
RUANG TUNGGU TEMPAT PARA TAMU DUDUK-DUDUK MENANTI GILIRAN MASUK KE RUANG KERJA
RESIDEN.
ADA SATU PAGAR YANG
MEMISAHKAN RUANG INI DENGAN RUANG DALAM.
SPACE D: ADALAH RUANG YANG
AGAK MENINGGI, TERLETAK AGAK JAUH DI BELAKANG. Ada anak tangga yang memberi
kesan untuk turun naik rumah yang bertiang tinggi. Di dalam ruangan ini
terdapat beberapa peralatan musik tradisional Banjar.
WAKTU, Di dalam abad ke-XIX
yakni pada tahun 1864 dengan tempat kejadian di kota tempat berdirinya kerajaan
Banjar, yakni Martapura di belahan selatan Pulau Borneo, atau Kalimantan
Selatan sekarang ini.
DALAM SOLILOQUE, SETIAP
TOKOH YANG BERHUBUNGAN DENGAN RUANG-RUANG INI, HADIR DALAM EXPRESSI AWAL DARI
PERKEMBANGAN WATAK.
1.
SOLILOQUE PADA
MASING-MASING SPACE
Dalang : (Pada SPACE B) Pemerintah
Gubernemen Belanda telah menjatuhkan putusannya, hukum gantung.
Wanita : (Pada SPACE D) Yang
digantung itu adalah salah seorang dari tokoh pejuang kami.
Demang
Lehman namanya.
Pesuruh : Saya kenal baik, dulu
ketika kami masih jadi petani, namanya bukan Demang Lehman. Tapi Idis.
Residen : Sebuah alun-alun di
Martapura. Alun-alun Bumi Selamat. Kepala Pemberontak Riam Kiwa dan Riam Kanan
itu akan digantung,pada waktu sholat maghrib.
Syarif
Hamid : (Pada SPACE C Tempat Pesuruh Bertugas)
Masya Allah. Penghinaan!
2.
MASIH PADA SPACE
MASING-MASING.
Demang
Lehman : Hakim Gubernemen, menurut
pengakuan pribadinya, Saya dan pengikut-pengikut saya dinyatakan tidak salah.
Dan Hakim menjatuhkan vonisnya, saya telah dibebaskan dari tuntutan jaksa.
Pesuruh : Bagaimanapun
juga, saya harus mengulur-kan lidah saya sepanjang-panjangnya dan tidak akan
berbuat sebagaimana tuan hakim yang agung itu. Saya merindukan hakim itu.
Semoga saja arwah hakim itu mau mengerti, bagaimana perasaan saya.
Demang
Lehman : Hakim itu memaksakan
perasaannya tapi tidak mau tahu apa kehendak pemerintah Militernya Verspijk.
Aspirasi rakyat di Banua Banjar ini,
seharusnya tidak usah diperhatikan saja.
Wanita
Satu : Perkiraan
cuaca hari ini bersuhu tinggi. Hakim yang memutuskannya. Kami semua tahu,
memang hakim yang memutuskannya Dan hakim itu adalah hakimnya pemerintah.
Residen : Ya! Yang namanya Pemerintah Gubernemen itu, ialah Saya! Dan yang
memutuskan hukum gantung itu, memang Saya!
Syarif Hamid : Memang
sulit. Dan dari sudut manakah agar putusan Verspijck ini dapat dibenarkan oleh
penduduk pribumi. Yang terdengar rakyat, bahwa hukum gantung itu, memang
dilakukan oleh Belanda. Rakyat tidak mau
tahu bagaimana putusan seorang Hakim dan
bagaimana maunya Residen.
Residen : Ya.
Kita lihat saja nanti.
3.
MASIH SOLILOQUE
PADA SPACE MASING-MASING, TAPI EKSPRESI LEBIH BERKEMBANG DENGAN MELIBATKAN
SELURUH SARANA FISIK.
Demang
Lehman : (Muncul dari dalam kerangkeng dengan segulung tali di tangan-nya.
Dinaikinya anak tangga dan langsung menggantungkan tali itu pada palang balok
yang sudah tersedia. Tali itu siap menantikan leher orang yg akan digantung.
Demang lehman menguji kekuatan tali gantungan itu)
Sebentar lagi. Waktu antara Ashar dengan
Maghrib menurut perkiraan saya, tidak begitu
lama. Kata Residen yang Letnan Kolonel itu, bahwa saya akan digantung, apabila bedug
di mesjid sudah berbunyi.
Syarif Hamid : Masya
Allah!
Demang Lehman :
(Mencoba mengalungkan jeratan tali itu pada lehernya, cuma sebentar lalu
dilepas kembali ).
Alternatif yang disodorkan Residen kepada
Saya adalah suatu kemustahilan.Memang aneh tapi tidak lucu.Saya punya
alternatif tersendiri. Hanya ada satu
pilihan yaitu mati digantung.
Dalang : Saudara-saudaraku
satanah banyu dan sabanua Tidak usah
takut, apabila alternatif ini saya
Lemparkan ketengah-tengah forum mufakat dan musyawarah tingkat nasional.
Latar belakangnya tidak begitu banyak, yakni berkisar dari kesalahan penguasa
tanah banyu kita yang mendahului kita. Kesalahan para penghibah waris kita sendiri. Baiklah kita buka saja
forum ini. Pembicara dalam termiyn
pertama cukup untuk beberapa orang saja.
Beberapa orang itu ialah mereka yang
memang pernah membeli saham dengan mata
uang Fortugis, Inggris, Cina, saudi
Arabia dan Belanda itu sendiri.
Maaf
kalau dua negara Adikuasa kami tempat kan sebagai petugas keamanan saja. (Kembali
menguji coba tali gantungan).
Demang Lehman : Dangar-dangar barataan, banua Banjar
kalau kahada dipalas lawan banyu mata
darah, marikit dipingkuti Kompeni Walanda.
Wanita Satu : Haram
Manyarah
RAKYAT :
Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing!
4.
SOLILOQUY
MENJELAJAH SELURUH LOKASI
SESEORANG
: Dangar-dangar urang kampung
subarang manyubarang..... Dangar-dangar urang kampung barataan, nang disubarang
menyubarang batang banyu, isuk hari Jumahat sahabis bada, diparintahakan
bakumpul dialun-alun Bumi salamat Martapura.
Sabab
pamarintah Wolanda, handak manampaiakan dihukum gantungnya saikung panghianat,
bangaran Demang Lehman...... Dangar-dangar urang kampung subarang manyubarang
batang banyu.....Dangar-dangar.......
Wanita Satu : Kita
akan buktikan keberanian kita. Besok akan kita buktikan, bahwa belanda tidak
akan berhasil menghukum mati tokoh pejuang kita itu.
Wanita Dua :
Siapa? Hei urang diseberang sana. Siapa
yang akan digantung? Uuui, siapa yang akan digantung. Kok tak ada yang menyahutnya. Saya hanya
mendengar canang yang dipukul orang. Dan antara kedengaran dan tiada, bahwa
seseorang akan digantung. Siapa. Siapa yang akan digantung?
5.
UNTUK SEMUA
DALAM AREAL AKTING.
Wanita
Dua : Uuui. Siapa yang akan digantung
? Uuui ........
Wanita
Tiga : (Muncul dengan buru-buru)
Wanita
Dua : Hei, mau kemana buru-buru?
Wanita
Tiga : Maaf. Mau cepat. Nanti
keburu senja.
Wanita
Dua : Sebentar. Kau mendengar
pengumuman kemarin sore
Wanita
Tiga : Justeru itu, Saya harus
berangkat secepatnya.
Wanita
Dua : Nanti dulu. Siapa yang akan
digantung?
Wanita
Tiga : Bubuhan kita di banua.
Wanita
Dua : Siapa?
Wanita
Tiga : Itu, Demang Lehman.
Wanita
Dua : Demang Lehman?
Wanita
Tiga : Sudahlah. Tidak perlu tahu.
Wanita
Dua : Apakah dia keluargamu?
Wanita
Tiga : Bukan.
Wanita
Dua : Lantas kamu akan
melihatnya.
Wanita
Tiga : Semua kita harus
melihatnya.
Wanita
Dua : Tapi Demang Lehman itu,
kan bukan keluargamu?
Wanita
Tiga : Iyya. Bukan keluarga.
Wanita
Dua : Kalau bukan sanak keluarga,
untuk apa pergi melihatnya. Yang
menggantung itu siapa?
Wanita
Tiga : Wolanda. Maaf saya harus
pergi sekarang.
Wanita
Dua : Sebentar. Apa kau Demang
lehman itu? Bekal suamimu? Tapi jelaskan dulu, Demang Lehman yang mana?
Wanita
Tiga : Beberapa tahun yang lalu,
beliau sering ke istana. Pengawal
pribadi Pangeran Hidayat. Dulu selagi
beliau tinggal dikampung, namanya Idis.
Wanita
Dua : U, si Idis?
Wanita
Tiga : Iya, suaminya Siti
Zubaidah.
Wanita
Dua : Asytagfirullah. Kalau
begitu aku akan melihatnya Juga.
Wanita
Tiga : Mau sama-sama?
Wanita
Dua : Berangkat saja duluan. Aku
menyusul.
Wanita
Tiga : Baik. Saya duluan.
(buru-buru
melanjutkan jalan).
Wanita
Dua : Astaga. Lupa lagi
menanyakannya. Apa sebab ia digantung.
6.
DI DALAM SPACE A
DAN C
RESIDEN YANG
LETNAN KOLONEL ITU, SUDAH LAMA MENYIBUKKAN DIRINYA DENGAN BERKAS DOKUMENTASI.
SATU BERKAS BARU SAJA DIKOREKSI KEMUDIAN MENYUSUL BERKAS YANG LAIN LAGI.
DIANTARA KESIBUKANNYA ITU, TANGAN KIRINYA MERAIH BELL, LALU MENGGOYANGKANNYA.
Pesuruh : (Beranjak dari tugas jaganya)
Syarif
Hamid : (Hampir mendekati kebosanannya dalam menunggu)
Pesuruh : Tuan mendengarnya?
Syarif
hamid : Ini kesempatanmu yang
baik. Katakan saja bahwa saya sudah sejak siang tadi menunggu.
Pesuruh : Kalau bell itu memang
berfungsi, ini berarti termiyn buat saya.
Residen : Termiyn ini buat saya.
(Kembali menggoyangkan bell).
Pesuruh : Nah. Ini jelas. Termiyn
buat saya.
Residen : (Kembali Menggoyangkan Bell)
Pesuruh : Siap! (Dari Ruang
Tunggu Menuju Ruang Kerja)
Residen : (Sambil mengepulkan asap
pipanya, tidak peduli dengan munculnya pesuruh)
Pesuruh : (Agak ragu apakah dia dipanggil tuannya)
Residen : (Masih Menggoyangkan Bellnya)
Pesuruh : (Meyakinkan Tuannya) Saya,
saya sudah ada dihadapan tuanku. Apakah
tuan memerlukan saya?
Residen : (Masih tidak peduli)
Pesuruh : Tuan memerlukan saya?.....
(Mendekat sedikit) Saya selalu disamping
tuanku. Tuan memerlukan saya? (Lebih dekat lagi dan bersuara lebih keras) Apakah tuan memerlukan saya!
Residen : Yah! (Geram terhadap
kebodohan pesuruh)
Pesuruh : (Dengan segala pasrah dan ketaatannya bersujud dan memohon ampun atas kesalahannya)
Residen :
Berapa
kali sajakah, kamu orang bertanya, hah? Dan berapa kali pula bel ini,
memerintahmu? Untuk apa, ini bel hah? Coba kamu orang, jawab! Untuk apa?
Pesuruh : Sudah tentu untuk saya.
Residen
: Ya,
untuk seorang pribumi yang paling bodoh. Tentu, (Menggoyangkan bel sebagai
penjelasan kepada pesuruh)
Hai Bodog! Tanpa bell ini, kau orang tidak
akan berguna bagi saya. Harus tahu itu. Mengerti .
Pesuruh : Dan saya sudah berada
dihadapan tuan, tuan mau apa?
Residen : Bangsat kamu orang. Bahasa
apa itu hah? Itu bahasa kami sehari-hari yang kami gunakan untuk
bangsat-bangsat seperti Demang Lehman itu. Kamu orang telah berani, pakai itu
bahasa untuk saya, hah?
Pesuruh : Ampun beribu ampun tuanku.
Dengan jujur, saya mentaati tuan. Kalau bahasa itu saya pakai, karena saya
menganggapnya, bahwasanya, bahasa tuan itu, memang bagus. Saya senang dengan
bahasa tuan.
Residen : Begitukah? Senang dengan
bahasa kami. Gud, Gud.
Pesuruh : Hop Perdom!
Residen : Betul-betul bangsat! Tubab!
Pesuruh : Saya tuan.
Residen : Kamu orang selalu salah
gunakan itu kami punya bahasa.
Pesuruh : Kami orang, memang tolol
tuanku.
Residen : Masih ingat bahasa bell
ini?
Pesuruh : Sudah mendarah daging
tuanku.
Residen : Gud, gud. Saya akan coba
menguji kamu orang.
Pesuruh : Saya orang coba akan
menjawab tuan punya bunyi bell.
RESIDEN
DALAM PERINTAHNYA MELALUI BELL DITANGANNYA.
BELL
1 KALI : Pesuruh Hormat Mendekat Dan Mengulur Kan Tangan Menerima Sesuatu.
BELL
2 KALI : Mundur Menjalankan Tugas Mengantar Sesuatu.
BELL
3 KALI : Urung Dan Kembali Menghadap Ingin Tahu.
BELL
1 KALI : Kembali Hormat Mendekat Menerima
Sesuatu.
BELL
2 KALI : Mundur
BELL
3 KALI : Segera Menghadap.
BELL
2 KALI : Mundur Dan Menghilang.
BELL
3 X 2 : Buru-Buru Menghadap.
DENGAN BERMACAM
KODE BELL, SI PESURUH DIBUAT TERENGAH-ENGAH SAMPAI KEHILANGAN TENAGA DAN
MERAYAP LEMAS DI ATAS LANTAI.
Residen : (Akhir Goyangan Bell Ditutup Dengan Hentakan Sepatu Botnya)
Pesuruh : (Mencoba merangkak dan menciumi ujung sepatu tuannya)
Syarif
Hamid : (Dari kejemuannya, lalu mengetuk pintu)
Bell
2 kali : (Pesuruh hampir kehilangan tenaga menuju ruang tunggu).
Residen : (Pelan-pelan melihat alun-alun lewat jendela).
Syarif
Hamid : (Membantu pesuruh yang lelah itu) Kamu dipukuli?
Pesuruh : Tidak.
Syarif
Hamid : Habis? .... kamu
berkeringatan. Disiksa tuanmu?
Pesuruh : Tidak.
Syarif
Hamid : Kalau bukan disiksa, kenapa
mau mati?
Pesuruh : Saya tidak disiksa. Dan
saya tidak akan mati!
Syarif
Hamid : O, ya. Saya mengerti.
Pesuruh : Kalau tuan sudah mengerti,
kenapa mesti bertanya.
Syarif
Hamid : Kamu kira saya takut ? Laa,
laa (Mau Masuk).
Pesuruh : Jangan. Jangan tuan lakukan
itu.
Syarif
Hamid : Kalau begitu, bilangkan
kepada tuanmu. Saya datang kemari, karena ada janji. Bilangkan sama tuanmu,
saya ini Syarif hamid datang dari Batu licin.
Residen : (Penuh Perhatian) Syarif
Hamid?
(Menggoyang
Bell 3 X 2)
Pesuruh : (Bangkit Dan Masih Lemas) Terlalu.
Sekarang tuanlah yang menyiksa saya.
(Memasuki
Ruang Kerja , Masih Lelah)
Residen : Suruh orang diluar itu
masuk.
Pesuruh : Dia musuh saya.
Residen : (Dengan abah-abah membolehkan masuk).
Pesuruh : (bertenaga kembali) Disuruh
masuk?
Residen : Ya, suruhlah.
Pesuruh : Dia musuh saya tuan. Dia
juga musuh tuan! Orang itu bersenjata besi tua. Dia berbahaya tuan!
Residen : (Ngotot..... lalu bell perintah lagi)
Pesuruh : (Hampir lemas menjalankan perintah)
Baik!
Baik!
Residen : (Kode bell perintah cepat)
Pesuruh : (Setengah berlari menuju ruang tunggu)
Syarif
Hamid : Apa kata tuanmu.
Pesuruh : Karena ruang kerja Boss
saya, tidak dilindungi oleh dinding anti peluru, maka saya minta agar tuan
menyerahkan besi tua milik tuan itu.
Syarif
Hamid : (dengan rasa jengkel, lalu menyerahkan kerisnya yang terselip
dipinggangnya) Keris ini bukan untuk
berkelahi tahu?
Pesuruh : Saya tidak mau tahu. Yang
jelas, di sini tidak diperbolehkan membawa senjata tajam. Ada punya KTP.
Syarif
Hamid : Terlalu! Buka matamu. Lihat
cincin ini.
Pesuruh : Ini bukan KTP. Ini cap
stempel.
Syarif
hamid : Kau tahu. KTP diwilayah
kami, baru bisa dianggap syah, kalau memakai cap kerajaan ini.
Pesuruh : Satu lagi. Ada membawa
ganja.
Syarif
Hamid : Saya bukan penyelundup.
Ganja barang haram. Sama haramnya dengan kumpul kebo.
Residen : (Bell Perintah Cepat)
Pesuruh : Mmmhh! Mentang-mentang
kenal baik dengan atasan saya.
Syarif
hamid : Boleh masuk nggak?
Pesuruh : Boleh. Tapi selama tiga
menit saja.
Syarif
Hamid : Permisi (Berolok-olok
membuat pesuruh jengkel).
Pesuruh : (Merasa dipojokkan) Tunggu
saatnya. Diluar jam dinas, toh nanti akan ketemu juga.
Syarif
Hamid : Selamat sore.
Residen : Sore. Syarif hamid
(Menjabat tangan Syarif Hamid). apa
kabar?
Syarif
Hamid : Baik.
Residen : Kenapa baru datang
sekarang?
Syarif
Hamid : Sudah tiga hari
bertutur-turut saya datang kemari dan menunggu giliran diruang tunggu.
Residen : O, ya.
Syarif
Hamid : Residen, sebagai orang
yang bertugas ikut memelihara stabilitas keamanan didaerah ini, justru senjata
saya harus dirampas.
Residen : Kamu orang, terkena razia?
Syarif
Hamid : Sebagai seorang bangsawan,
saya harus membawa senjata pusaka bukan?
Residen : Kemudian disita oleh
petugas saya? Kamu lihat sendiri. Saya seorang residen. Pangkat saya Letnan
Kolonel. Apakah saya harus membawa senjata api?
Syarif
Hamid : Kita kan sudah sama
meyakini. Dengan terbekuknya Kiai Demang Lehman itu, tanah Borneo ini sudah
bisa dikatakan aman.
Residen : Tapi dengan gerombolan
Pegustian di hulu Barito itu?
Syarif
Hamid : Cuma daerah tanah rawa.
Gusti Mat Seman, tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Residen : Saya akan basmi itu
gerombolan bangsat. Berapa ribu saja prajurit kami yang tewas. Terbilang sejak
mereka menghancurkan benteng dan sumber perekonomian kami di Pengaron lima
tahun setengah yang lalu, sudah hampir dua ratus oarang opsir kami yang
dibikinnya mati konyol! Dan sekarang, dendam itu harus saya tunjukkan kepada mereka!
Syarif
Hamid : Saya ikut prihatin, dengan
tenggelamnya kapal perang Onrust di Sungai teweh itu.
Residen : Kerugian itu, tidak akan
terulang lagi. Kolonel Andersen, bukan orang seperti saya. Dia lembek seperti
bakecot. Tapi saya akan musnahkan itu benteng-benteng mereka. Akan kami bumi
hanguskan itu tanah banua mereka. Kalau hutan
rimba Aceh dapat kami jelajahi, kenapa hutan Borneo ini tidak.
Syarif
Hamid : Lalu, apakah dengan bantuan
yang saya berikan itu, mempunyai arti bagi tuan?
Residen : Tentu, tentu.
(mengambil sepucuk surat diantara
tumpukan berkasnya). Kau tahu isinya ini bukan?
Syarif
Hamid : Saya sudah tahu. Dia akan
digantung sore ini?
Residen : Kamu sudah lihat bukan.
Disekeliling alun-alun itu, sudah dipenuhi orang-orang.
Syarif
hamid : (Melihat ke luar jendela) Orang
tua, anak-anak, laki-laki dan wanita. Sudah sejak pagi mereka berada
disekeliling alun-alun itu. Tapi kapan?
Residen : Masih ada waktu dua jam
lagi.
Syarif
Hamid : Dua jam lagi?
(Mengambil arloji sakunya)
Sekarang sudah jam empat.
Residen : Tepat!
Syarif
Hamid : Di saat sholat maghrib?
Residen : Begitu bedug dimesjid sudah
ditabuh. Dan suara azan sudah berkumandang, saat itulah ia harus mati!
Syarif
Hamid : Saya keberatan.
Residen : Apakah keberatan kau orang,
mengatas namakan persekutuan dagang bangsa
Arab?
Syarif
Hamid : Tidak sama sekali.
Residen : Pribadi?
Syarif
Hamid : Juga bukan.
Residen : Lalu apa?
Syarif
Hamid : Tuan Residen. Pemerintah
Gubernemen hanya didukung oleh senjata dan mesiu. Dan pusat pemerintahan hanya
berupa selingkar pulau Tatas di Banjarmasin. Tapi semua itu, tidak akan mampu
mengambelaskan penduduk pribumi yang seluruhnya beragama Islam.
Residen : Persoalan ini berkisar
mengenai hukum gantung. Lantas apa sangkut pautnya dengan agama?
Syarif
Hamid : Mengapa harus diwaktu
sholat maghrib?
Residen : Kamu orang ikut
merasakannya, bahwa tindakan yang akan saya lakukan ini, adalah suatu tindakan
yang kurang wajar bukan.
Syarif
Hamid : Bukannya kurang wajar.
Tapi tidak wajar sama sekali.
Residen : Timing yang tepat. Saya gembira.
Syarif
Hamid : Tuan
akan puas sendiri. Tapi sementara itu, berpuluh ribu ummat Islam merasa
terhina.
Residen : Syarif Hamid. Ini
kebijaksanaan pemerintah Gubernemen.
Syarif
Hamid : Tapi persekutuan ummat
Islam sedunia, akan mencela bangsa tuan.
Residen : Kamu orang bukan orang
kami. Dan tidakkah kamu tahu, bahwa cara ini, adalah suatu bled. Tapi kalau toh
ingin dipandang dari sisi agama, semua ulama sudah mulai akrab dalam
pemerintahan kami. Dengan Enam Ribu Sembilan
Ratus Enam Puluh empat Gulden yang disumbangkan untuk kepentingan Mesjid
Jami di Banjarmasin, adalah satu sisi untuk perhatian kami pada agama.
Syarif
Hamid : Dan rasa simpati itu,
segera akan lenyap apabila Tuan menggantung Demang Lehman yang kiyai dan yang
alim itu, disaat ummat Islam menjalankan ibadahnya.
Residen : Tapi rakyat sudah tahu,
siapa Demang Lehman itu. Para ulama dan seluruh penduduk telah mengutuknya.
7.
PADA LOKASI D
TAMPAK KERUMUNAN PRIBUMI, YANG MULAI
RESAH DAN BANGKIT MENGARAH PADA KEMARAHAN.
Wanita
Satu : Perlawanan di daerah
Martapura bisa dilumpuhkan. Dan seorang Demang Lehman bisa saja Walanda
gantung. Tapi yang bernama pahlawan haram Manyarah Waja Sampai Kaputing, masih
banyak kita miliki.
Haram
Manyarah, Waja sampai Kaputing...!!!
Orang-orang : Haram
manyarah, Waja Sampai Kaputing!!!
LOKASI LAIN
Wanita
Tiga : Kita tidak akan biarkan
Demang Lehman itu digantung. Kita harus protes. Apabila kita diam, berarti kita
kalah dan menyerah. Dan menyerah itu
haram.
Wanita
dua : Hei, cara seperti itu
berbahaya. Jangan terang-terangan.
Wanita
Tiga : Sekarang inilah saat yang
cocok bagi kita. Kita tidak boleh bungkam. Kita harus unjuk rasa kepada
Wolanda. Biar mereka tahu siapa kita. Ayoh mari kita bergerak.
Wanita
Dua : Jangan. Ayoh, jangan
ikut-ikutan. Berbahaya buat kita. Kita akan ditembak mati.
Wanita
Tiga : Saya tidak akan mengajak
seorang penakut seperti kamu. Bebaskan Demang lehman. Bebaskan Demang Lehman.
Orang-Orang : Bebaskan Demang Lehman. Bebaskan Demang
Lehman.
Wanita
Dua : Tenang! Tenang!
Wanita
Tiga : Kamu takut?
Wanita
Dua : Ini bukan soal takut. Tapi
kita Cuma orang kampung.
Wanita
Tiga : Lantas karena kita merasa
sebagai orang bodoh, lalu kita harus membisu? Di mata penguasa, kita orang
kecil.
Wanita
Dua : Tapi bila kita datang
dengan adat leluhur kita?
Wanita
Tiga : Takaran kehormatan bagi
penguasa, bukan terbatas pada adat. Saya akan lakukan sebisa saya.
Wanita
Dua : Kamu akan korbankan harga
dirimu?
Wanita
Tiga : Yang akan kulakukan, Cuma
memohon keampunan pada penguasa.
Wanita
Dua : Lantas apa yang bisa kau
berikan kepada penguasa sebagai imbalannya?
Wanita
Tiga : (Kepada yang lain) Hei
kamu..... Apakah kamu bersedia membantu
saya?
Wanita
Lain : (Menggelengkan kepalanya) Saya
ingin hidup, dengan cara saya sendiri.
Wanita
Tiga : Kamu rela bila orang kamu
puja-puja itu, mati digantung hari ini?
Wanita
Lain : Bila Demang Lehman harus
mati hari ini, maka saya harus hidup bersama semangatnya.
Wanita
Tiga : Mmmhhh....Omong kosong.
Kanapa tidak seorangpun yang membantu Demang Lehman? Apa kalian tidak sadar,
bahwa Demang lehman akan dibunuh hari ini .
Wanita
Dua : Semua orang sudah tahu.
Saya juga sudah kamu beri tahu. Dan, dan saya ingin lihat, bagaimana wajah
seorang pahlawan menghadapi tiang gantungan itu.
Wanita
Tiga : Kamu kira, kejadian sedih
hari ini, Cuma sebuah sandiwara? orang tak punya perasaan. Kita harus
menyematkannya. Kita harus menyelamatkannya.
Wanita
Dua : Bisa saja. Demang Lehman
bisa asaja selamat dari tiang gantungan. Semua kita sudah mengetahui. Dan semua
kita sudah bisa menebaknya. Yang menjadi masalah sekarang, apakah Demang Lehman
bersedia digantung atau tidak. Nah, kalau tidak apa akibatnya. Tapi kalau
Demang Lehman siap dengan
kepahlawanannya, dengan memilih mati umpamanya,apa pula keburukannya bagi
perlawanan rakyat.
Wanita
Tiga : Bagiku Demang Lehman harus
tetap hidup. Dan saya akan beranikan diri menghadap penguasa.
Wanita
Dua : Bisa saja. Tapi kamu harus
ingat, iming-iming sang penguasa, Cuma sebuah siasat dalam merekatkan pantatnya
dibantalan korsi jabatannya. Tapi setelah itu, kamu Cuma sebiji pasir ditanah
gurun.
Wanita
Tiga : Tidak usah berdalih
macam-macam. Ayoh, siapa yang punya kasih sayang kepada pahlawan kita, ikut
bersama saya. (Semua diam).
Bebaskan Demang Lehman (Diam tak
bersambut) Baik-baik. Kalian akhirnya
menyukai kematian Demang Lehman itu.
Wanita
Dua : Kita bisa teriak, bebaskan
Demang Lehman....... Bebaskan Demang Lehman, tidak berarti ia mesti lepas dari
tiang gantungan. Tapi dengan kematiannya, justru Demang Lehman bebas
menyusupkan semangatnya ke setiap pembuluh nadi masyarakat Banjar yang tidak
ingin diperintah dan diatur oleh
orang-orang yang bukan miliknya dan pilihannya.
Wanita
Tiga : Saya tidak mau tahu, dengan
bahasa yang tidak dimengerti itu. Baik. Saya akan maju sendiri (EXIT)
Wanita
Dua : Saya berani bertaruh, dia
akan menyesal................
(Kepada
Yang Lain) Kalian mengerti maksud saya?
Kita boleh teriak, bebaskan Demang Lehman, tapi arti dari itu semua, bukan
bersandar pada kulitnya. Kita berteriak sepuas hati kita, dengan maksud agar
semangatnya segera kita miliki. Kita tidak ingin mendapatkan pemimpin yang
diperoleh lewat suara terbanyak, kalau pemimpin itu tidak siap menerima
kejatuhannya lewat suara terbanyak pula. Nilai suara kita tidak sama dengan
harga sebiji permata. Suara bukan barang dagangan. Nah sekarang, mari kita
teriak dengan memanipulasi suara kita,agar sang penguasa mengira bahwa suara
kita telah dibayar mahal oleh pemimpin kita yang hidup dalam kemiskinan dan
kesengsaraan. Bebaskan Demang Lehman!
Orang-orang : Bebaskan Demang Lehman! Bebaskan Demang
Lehman!
8.
PADA SPACE RUANG
KERJA. TUBAB BURU-BURU MEMBUBARKAN KEKACAUAN DI SEKELILING ALUN-ALUN
Pesuruh : Tuanku. Penonton di
sekeliling Alun-alun itu pada marah tuanku. Mereka teriak; Bebaskan Demang Lehman,
Bebaskan Demang Lehman!! (Seperti kesurupan).
Residen : (Marah Dan Membentaknya)
Diam.....!!!
Syarif
Hamid : (SINIS) Apa benar semua pribumi itu, mengutuk orang
kesayangan mereka?
Residen : Saya tidak butuhkan ucapan
seperti itu (Dongkol)
Syarif
Hamid : Lebih-lebih dengan hukum
gantung di saat Sholat Maghrib.
Residen : Syarif Hamid, kamu orang
tidak usah campuri kami punya pemerintahan.
9.
PADA LOKASI
LAIN. ORANG-ORANG MAKIN BERGOLAK
Wanita
Satu : Bebaskan Demang Lehman!
Orang-orang : Bebaskan
Demang Lehman, Bebaskan Demang Lehman....!!!
10. DI
SPACE RUANG KERJA
Pesuruh : Tuanku!
Residen : Tubab! (Menulis
perintah dan menyerahkannya pada pesuruh) Surat
Perintah, Menembak Mati!
Syarif
Hamid : Tidakkah Tuan akan
menyesal?
Residen : Siapa saja yang melanggar
pos penjagaan, Tembak Mati..!!
Pesuruh : (Diam saja)
Residen : Tubab!
Pesuruh : Siap menunggu Bell Tuanku.
WANITA
TIGA DENGAN MENDADAK MUNCUL DI RUANG KERJA
Residen : Siapa pula Kamu orang,
hah?
(Menggoyangkan
bell untuk pesuruh)
Pesuruh : (Taat menjalankan perintah)
Residen : (melihat kelembutan wajah wanita itu, amarahnya agak mereda) Kamu orang perlu saya?
Wanita
Tiga : Betul tuan.
Residen : Saya kagum. Kamu orang
sungguh berani, masuk ke tempat ini. Kamu orang tidak mungkin tahu, bahwa
tempat ini, tempat terlarang.
Wanita
Tiga : Saya tahu Tuan.
Residen : Kamu orang perlu apa, hah?
Wanita
Tiga : Tuan akan menggantung
orang kami bukan?
Residen : Saya kurang tahu, dengan
orang yang kamu maksudkan itu.
Wanita
Tiga : Nama kecilnya Idis.
Syarif
Hamid : Ooo, yaa. Namanya yang
benar, memang Idis. Maksud dia, Kiai Demang Lehman.
Residen : Syarif Hamid. Belajarlah
dengan tata cara yang baik dan sopan. Saya tidak bicara dengan kamu orang
bukan?
Syarif
Hamid : Saya yakin unjuk rasanya
wanita ini, akan menyuarakan aspirasi pribumi yang terluka.
Residen : (Diam sejenak sambil memandang syarif hamid dengan rasa dongkol.
Kemudian mengambil sebuah amplop berisi surat)
Tuan Syarif Hamid. Kamu orang sudah tahu
isinya ini bukan?
Syarif
Hamid : Itu soal nanti.
Residen : Syarif Hamid! Apa maumu
sebenarnya, hah?
Syarif
Hamid : Kalau tidak mungkin
dibatalkan, maka saya mohon janganlah menggantung dia, di saat sholat maghrib.
Wanita
Tiga : Rupa-rupanya, Tuan punya
keinginan yang sama.
Residen : Keinginan apa yang Kamu
maksudkan?
Wanita
Tiga : Hukuman gantung itu.
Residen : Kamu orang menghendaki,
agar segera dilaksanakan?
Wanita
Tiga : Bukan. Berilah dia
keampunan.
Residen : Saya sudah suruh dia, agar
memilihnya.
Wanita
Tiga : Tuan telah memberi
kesempatan kepada Dia?
Residen : Tapi Demang Lehman itu,
seorang bangsat yang teramat tolol.
Syarif
Hamid : Tuan adalah sahabat Saya
Wanita : Agaknya keramahan Walanda,
jauh berbeda dengan kenyataan yang tersiar di kalangan penduduk.
Residen : O, ya. Begitu?
Syarif
Hamid : Legalah jadinya perasaan
saya.
Residen : Dan kamu orang akan lebih
lega lagi, menandatangani surat kesepakatan ini.
Syarif
Hamid : Yang jelas saya akan
terlepas dari dosa-dosa yang selama ini menghantui saya.
Residen : Kamu orang boleh baca,
baru ditanda tangani, Okey?
Syarif
Hamid : Terima kasih.
(Menerima surat itu lalu meneliti isinya dsan duduk di tempat yang disediakan
oleh residen).
Residen : Boleh saya tahu, siapa
nama kamu?
Wanita
Tiga : Komalasari Tuan, Siti
Komalasari.
Residen : Ou...Nama yang bagus!
Wanita
Tiga : Ee, Tuan Residen
Residen : Tidak perlu sebutkan
itu......Residen. Nama saya Verspijck
Wanita
Tiga : Ee, Tuan Verspijck. Jadi
tuan telah memberinya keampunan?
Residen : Saya selalu berbuat baik
terhadap dia. Tapi kita tidak usah dulu bicara tentang dia. Kita punya waktu
masih cukup banyak.
Wanita
Tiga : Tuan telah melihat di
sekeliling alun-alun itu bukan?
Residen : Saya melihatnya. Saya
melihat orang-orang yang haus sekali dengan hiburan.
Wanita
Tiga : Tuan kira mereka akan
menghibur diri?
Residen : Tentu saja mereka ingin
tahu, bagaimana cara orang mati digantung.
Wanita
Tiga : Kekejian seperti itu Tuan
katakan hiburan?
Residen : Kamu tidak menyukainya?
Syarif
Hamid : Sikap yang bagaimana pula,
yang Tuan maksudkan itu?
Residen : Kamu sudah baca?
(Mendekati
meja kerjanya dan mengambil tangkai pena kemudian menyerahkannya kepada syarif
hamid)
Kalau
isinya sudah cocok, silahkan menandatanganinya.
Syarif
Hamid : Sebentar. Kita akan
selesaikan terlebih dahulu, mengenai janji pengampunan itu.
Wanita
Tiga : Itu betul!
Syarif
Hamid : Tuan Residen. Saya ingin
tahu, bentuk bentuk pengampunan yang tuan berikan itu.
Residen : Syarif Hamid. Jangan dulu
Kamu campuri urusan kami dengan perempuan ini. Kamu toh tidak punya
kepentingan.
Syarif
Hamid : Kenapa Tuan harus berkata
seperti itu. Tuan harus menyadari, kalau bukan karena saya, tidaklah akan
terjadi surat kesepakatan itu. Ketahuilah, Kiai Demang Lehman itu, adalah
urusan Saya juga.
Wanita
Tiga : Saya tidak mengira, bahwa seoranmg Bangsawan Arab telah
mendahului saya untuk membebaskan orang kesayangan kami.
Syarif
Hamid : Kalau Nona mau tahu, Saya
sudah tiga hari yang lalu datang ke tempat ini. Dan pada hari kedua, saya juga
gagal. Baru sekarang saya bisa bertemu dengan Tuan Residen.
Wanita
Tiga : Saya sangka , Cuma rakyat Banjar yang membutuhkan tokoh
Kiai Demang Lehman. Tetapi dari bangsa Arab pun rupanya punya rasa simpati yang
menggembirakan.
Residen : Kami juga punya rasa
kasihan kepada orang yang kamu rindui itu. Bukan itu saja, tetapi untuk seluruh
anak negeri Banjar ini.
Wanita
Tiga : Kalau Kiai bisa dilepaskan
dan dibebaskan sekarang ini, maka semua anak negeri kami akan bersuka hati.
Apakah mungkin dapat dibebaskan sekarang?
Residen : Saya sudah tawarkan
kebebasan
Wanita
Tiga : Tuan seorang yang baik.
Residen : Tapi Dia menolak
persyaratan yang saya sodorkan.
Wanita
Tiga : Syarat apakah itu, tidak
berat bukan?
Residen : Enteng sekali.
Syarif
Hamid : Kalau sekedar uang tebusan
atau berupa upeti misalnya, saya akan membantu nona.
Residen : Itu tidak kami butuhkan.
Dengan garapan hasil hutan, hasil kebun dan hasil tambang di negeri ini, sudah
cukup menguntungkan bagi Hollandia.
Wanita
Tiga : Lantas, kehendak Tuan? Ee,
maksud Saya persyaratan yang Tuan minta itu.
Residen : (Menunjuk pulau pada globe). Mari
mendekat. Ini kepulauan Nusantara. Java, Selebes dan ini Borneo.
Borneo
ini kelihatannya saja seperti sebuah hutan rimba. Kami kira kami bangsa Belanda
datang ke pulau ini, hanya akan berperang dengan orang hutan dan gerombolan
bekantan. Di sini tanah Kutei. Borneo Barat. Dan ini daerah yang dulunya cuma
Onder Afdeeling, yang sekarang ini menjadi Residentie Zuider-en Ooster
Afdeeling van Borneo. Di sini Benteng Pengaron pernah dihancurkan oleh
gerombolan Antasari dan Hidayat. Sumber perekonomian kami berupa tambang batu
bara Oranye Nassau dan Yuliana Hermina, telah amblas. Dalam peristiwa yang
mendatangkan korban oran kami itu, adalah pangkal dakwaan dan tuntutan yang
memberatkan Demang Lehman yang kamu bela ini. Dalam putusan kami, semua orang
pribumi yang terlibat dalam awal perang Banjar itu, harus dihukum mati!
Banjermasin Sechkrej yang gila! Tapi baiklah, kita lewatkan saja.
Sekarang,
Antasari yang mengaku pemimpin Haram manyarah Waja Sampai Kaputing itu, sampai
ia mati tua, tidak juga mau menyerah. Hidayat telah kami tipu, dan kami lempar
ke tanah Cianjur. Tamjid, kami turunkan sebagai Sultan dan juga telah kami
buang. Kemudian Banjar sebagai salah satu kerajaan besar di Borneo ini, telah
kami hapuskan. Tapi Gusti Muhammad Seman dan Gusti Mat Said Putra dari Antasari
itu, malah melanjutkan berdirinya kerajaan Banjar yang telah didirikan oleh
Antasari itu sendiri di Hulu Sungai Teweh. Gila! Dan kini pemberontakan masih
ada saja. Mau apa? Tumenggung Surapati dengan puteranya Jidan yang Dayak itu,
masih juga mengamuk di Barito. Penghulu Rasyid di Tabalong. Tumenggung
Antaluddin di Amandit. Naro di Amuntai. Si Wangkang di Bakumpai. Dan si Kancil
Haji Buyasin di Tanah Laut. Mau apa mereka sebenarnya. Dan kenapa mesti berbuat
gila. Tapi itu bukan problem. Toh, mereka itu satu satu akan kami gantung juga.
Wanita
Tiga : Artinya tuan akan tetap
menggantung Kiai Demang Lehman?
Residen : Harga Demang Lehman ini,
hampir sama dengan harganya Pangeran Antasari. Antasari sampai dia mati, tidak
pernah kami temukan. Tapi yang menemukan Demang Lehmanini, sudah kami beri
sebuah wilayah kerajaan di daerah Batu Licin, yang kaya dengan hasil hutannya.
Syarif
Hamid : Coba tuan katakan,
persyaratan itu.
Residen : Kamu orang mau
menghindarinya, hah?
11. DARI
LOKASI SPACE D, RAKYAT MULAI BERGOLAK LAGI. WANITA SATU BERSAMA RAKYAT BANGKIT
SETELAH MENDENGAR OCEHAN WANITA DUA.
Wanita
Dua : Katanya ingin membebaskan
Demang Lehman. Tapi ia sendiri tenggelam entah dimana. Mungkin juga
akan.......atau mungkin sedang atau barangkali sudah.
Saya
dapat memastikannya. Perempuan itu pasti seorang jalang. Dia telah ambil
kesempatan menjual nama seorang pahlawan. Dia rupa-rupanya telah berhasil
menjajakan kehormatannya. Dia seorang maling, berpura-pura seperti orang alim.
Omong
kosong! Penghianat hati nurani rakyat! Saya harus bergerak sendiri. Bebaskan
dia. Bebaskan Demang Lehman.
RAKYAT : Bebaskan Demang Lehman. Bebaskan...!!!
12. DI
DALAM SPACE A DENGAN SEBUAH MERIAM LILA
Pesuruh : Coba saja kalau berani
maju. Saya hamburkan otaknya.
13. KEMBALI
PADA SPACE A DI RUANG KERJA ASISTEN RESIDEN. SYARIF HAMID MAKIN TAMPAK GELISAH,
SEMENTARA WANITA TIGA AGAK KEHERANAN.
Residen : Syarif hamid, kamu orang
jangan banyak mendesak saya. Dan kamu Komalasari, tidak perlu tercengang,
apalagi bercuriga pada Syarif Hamid ini.
Syarif
Hamid : Barangkali Tuan, tidak
merasa kasihan terhadap nenek-nenek dan ibu-ibu yang menggendong anak-anaknya
di sepanjang keliling alun-alun itu. Berapa orang saja yang pingsan dan
luka-luka terkena injak dan saling berjejal.
Wanita
Tiga : Apakah Tuan perkenankan,
apabila saya berbicara dengan Kiai Demang Lehman?
14. PADA
SPACE RUANG TUNGGU: PESURUH MENERIMA KEDATANGAN SEORANG PRIBUMI YANG
MENYERAHKAN SEPUCUK SURAT BALASAN.
Pesuruh : (Menerima Lalu Mengusir Pribumi Itu. Selanjutnya Surat Itu Ia
Sampaikan Kepada Asisten Residen)
Residen : Kamu orang tidak saya
panggil bukan? Apa kamu mendapat perintah Bell? Tubab, apa keperluanmu, hah?
Pesuruh : Ada ini Tuan.
Residen : Bawa kemari.......Tubab.
Kenapa diam.
Pesuruh : Belum ada perintah bellitu
Tuan.
Residen : Bodog...!!! (Langsung
menghentakkan bell)
Pesuruh : (Setelah menyerahkan surat langsung menuju pintu ruang jaga)
Residen : (Membaca surat)
Kepala Pemerintahan, atas nama Kepala Agama
dan atas nama Panglima Perang. Gusti Mat Seman, Raja Banjar. (SINIS). Seperti apa Mat Seman itu. Dan sampai dimana
kecerdasan dan keahliannya, sampai begitu banyak jabatan yang dimilikinya. Atau
memang orang banua banjar, tidak memiliki orang pinter, yang menyebabkan si Mat
Semat itu menyandang banyak jabatan. Mungkin juga karena memang tidak ada orang
lain.
Itu
berarti, kerajaan Banjar. (Membaca
Lagi)..........Mmmmhhh. Orang keras
kepala. Kenapa begini? Kerajaan banjar di hulu Puruk Cahu, telah menempatkan
kepentingannya di atas pundak Demang Lehman? Tetapi mereka tetap tidak akan mau
menyerah, sekalipun Demang Lehman itu digantung. Apakah begini ini dinamakan
Haram Manyarah, Waja Sampai Kaputing?
Mat
Seman tidak akan mau menyerah, kalau tidak Demang Lehman itu sendiri yang
membuat pengakuan menyerah?
Baik.
Kalau memang si Berandal Mat Seman akan mematuhi semua bentuk pengakuan Demang
Lehman itu, maka kepada kamu Komalasari saya berikan kesempatan untuk berbicara
dengan Demang Lehman itu. Tapi ingat bedug di Masjid sebentar lagi akan
berbunyi. Kamu harus mampu meruntuhkan pendiriannya yang keras seperti batu
itu. Demang Lehman harus mengakui kesalahannya. Demang Lehman harus mau meminta
maaf dan mengomandokan dibubarkannya pemberontakan rakyat. Mengerti?
Wanita
Tiga : Terima kasih. Saya akan
penuhi keinginan Residen
Residen : Lagi-lagi Residen, masih
juga lupa, hah?
(Memerintahkan
tubab) Tubab. Seret Berandal Demang Lehman itu kemari.
Tubab : Bagaimana dengan bahasa
bel itu?
Residen : Masa bodoh dengan bell
itu! Laksanakan!
Tubab : Siap! (Surut menuju
karangkeng)
Syarif
Hamid : Residen. Kalau Demang
Lehman itu akan dibawa ke ruangan ini, tidakkah lebih baik kalau saya
menghindar dulu?
Residen : Kamu takut?
Wanita
Tiga : Mungkin dengan nasihat dan
dorongan Tuan, akan lebih menguntungkan. Saya lebih suka kalau Tuan ikut
menasihatinya.
Syarif
Hamid : Yah, Saya akan
menasihatinya. Tapi nanti. Maaf Residen. Nona, saya menunggu giliran di luar
sana. (EXIT)
Residen : Ha ha ha....... Ternyata
dia tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri.
Tubab : (Muncul) Berandal Demang
Lehman, siap dihadapkan.
Residen : Gud! Bawa Dia masuk.
Tubab : (Agak kasar) Kamu orang
jangan kurang ajar. Hei, Berandal, jangan bercekik pinggang di sini!
Demang
Lehman : (Tiba-tiba marah) Bangsat
(Meludahi) Anjing Kompeni...!!!
Tubab : (Ingin bertindak, tapi dicegah residen)
Residen : Tubab. Biarkan dia kurang
ajar! Demang Lehman....
Demang
Lehman : Saya sudah tahu, apa
kehendak kamu.
Residen : Baik. Saya telah tawarkan
untuk yang terakhir kalinya.
Demang
Lehman : Tembaklah dia di hadapan
saya.
Residen : Saya tidak akan memaksamu,
dengan cara yang sudah saya lakukan.
Demang
Lehman : Berapa kau bayar dia.
Residen : Sepeserpun dia tidak punya
harga bagi saya. Dia datang kemari dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri.
Mungkin ada harganya bagi kamu.
Demang
Lehman : Seretlah saya ke tiang
gantungan, sekarang juga.
Residen : Itu pekerjaan yang gampang.
Nah, saya masih berikan kesempatan. Tubab, jaga dia. (EXIT)
Tubab : Tugas
yang mengasikkan. (Mengambil tempat duduk residen)
Wanita
Tiga : Demang
Demang
Lehman : Bicaralah seperlunya.
Wanita
Tiga : Demang
Lehman. Saya, saya Komalasari.
Demang
Lehman : (Setelah memandang) Banua
banjar ini, harus dipalas dengan banyu darah!
Komalasari : Demang Lehman pahlawanku
Tubab : (Berbuat sebagai wayang kulit banjar)
Demang
Lehman : (Mengancam tubab) Engkau
kira saya ini sebuah boneka mainan kanak-kanak?! (Merenggut kerah leher
tubab) Anjing Kompeni! Kau tidak mau
sadar, bahwa engkaulah boneka mainan itu! (Melepasnya) Saya kasihan melihatmu. Bagaimana
nasibmu nanti, apabila Walanda yang kamu pertuan itu, sudah angkat kaki dari
Bumi Haram Manyarah ini! Keluar!
Tubab : (Agak ketakutan. tapi ia malah tidak mematuhi
perintah demang lehman. diambilnya tempat duduk yang lain)
Wanita
Tiga : Demang
Lehman, Bersabarlah.
Demang
Lehman : Dan Engkau, ada keperluan
apa datang ke ruangan haram ini?
Wanita
Tiga : Saya
hanya ingin tahu, apakah benar Tuan Residen telah memberikan keampunan atas
diri Demang?
Demang
Lehman : Memilih dari salah satu
alternatif, yakni digantung atau mengomandokan dihentikannya perang.
Wanita
Tiga : Lalu
bagaimana dengan Demang?
Demang
Lehman : Engkau toh tidak punya
kepentingan dalam pilihan saya ini.
Wanita
Tiga : Demang,
barangkali belum tahu isi surat Raja Gusti Mat Seman dari Hulu Sungai Teweh.
Demang
Lehman : Kau banyak tahu dalam
soal-soal pemerintahan kerajaan Banjar? Siapa Kamu sebenarnya?
Wanita
Tiga : (Mengambil surat yang terletak di atas meja)
Ini Surat itu (Menyerahkannya)
Demang
Lehman : Surat ini kau sendiri yang
membawanya?
Wanita
Tiga : Bacalah
Demang
Lehman : (Membaca) Kenapa mesti
begini? Gila!
Wanita
Tiga : Paduka
Raja Gusti Mat Seman, punya pandangan jauh ke depan. Nah, apabila Demang
memilih jalan kompromi, tentunya rakyat tidak akan dibinasakan oleh Versvijck.
Keadilan, kedamaian, kemakmuran dan kesejahteraan yang merata, yang selama ini
kita buru-buru, pasti akan menjadi suatu kenyataan.
(Lirih)
Korban di pihak kita sudah terlalu banyak. Mayat di atas mayat, air mata dan
darah. Kelaparan, kemiskinan dan malapetaka lainnya silih berganti menerkam
kita. Pilihlah kompromi itu, Demang.
Demang
Lehman : (Matanya jalang sekilas hampir curiga)
Wanita
Tiga : Demang
masih ingat peristiwa senja di sungai batang? (Meredup dan susuk terhenyak)
Tapi peristiwa senja itu, sudah lama
berlalu. Lama sekali. Satu peristiwa remaja kita yang dimabuk cinta.......Idis.
Demang
Lehman : Engkau.........
Wanita
Tiga : Ya,
Akulah Sari itu
Demang
Lehman : Sari,
Wanita
Tiga : Idis
Demang
Lehman : (Baru sadar bahwa orang yang berada di belakangnya adalah Syarif
Hamid dan Residen) Kamu Syarif Hamid?
Residen : Betul sekali. Dia sekarang
Raja. Raja di negeri kaya. Batulicin tempat istananya.
Demang
Lehman : Penghianat....!!!
Syarif
Hamid : Anta
jangan dendam pada Ana, percayalah Anta, apa sebab Ana berbuat begitu. Ini
semata untuk kepentingan rakyat dan kepentingan Islam itu sendiri.
Demang
Lehman : Para arwah leluhurku, akan
mengutukmu! Orang seperti kamu, tidak pantas diberi ampun!
Wanita
Tiga : Demang,
jangan salah tuduh Demang. Pangeran ini justru membelamu.
Demang
Lehman : Dialah yang menipuku. Dialah
yang memperalat rakyat untuk menangkapku. Dijebaknya aku, di saat Aku payah dan
sakit. Kedua senjataku dirampasnya. Singkirkan kerisku, dan kalibelah tombakku.
Padahal kedua senjata itu, adalah pusaka warisan yang diberikan oleh Raja
Banjar yang syah, Pangeran Hidayatullah yang terbuang ke Cianjur.
Wanita
Tiga : Kesampingkan
dulu dendam itu Demang. Diri Demang kan sudah dianggap bebas. Ayolah Demang.
Anak istri Demang sedang menunggu, sedang Aku sudah siap menjadi istrimu.
Residen : Ayolah. Kita ke alun-alun.
Saya akan umumkan bahwa kamu orang tidak jadi digantung. Rakyat tentu akan
senang.
Syarif
Hamid : Bedug
maghrib, sebentar lagi akan berbunyi, tanda shalat akan dilaksanakan. Maafkan
atas kesalahan Ana.
Demang
Lehman : Itu bukan suatu
penyelesaian. Dan saya akan membuat perhitungan. Kalau tidak di dunia, di
akhirat pasti akan selesai.
15. DI
PINTU LUAR TELAH TERDENGAR KERIBUTAN ANTARA TUBAB DENGAN WANITA LAIN.
Wanita
Dua : Saya
harus ketemu dia. Lepaskan. Lepaskan Saya.
Residen : Tubab. Ada apa?
Tubab : Ada
satu lagi, Tuan.
Residen : Lepaskan Dia.......Kau minta
ditembak lagi hah?
Wanita
Dua : (Masuk dengan mata jalang)
Wanita
Tiga : Hei
Mastaniah. Kau bisa masuk ke tempat ini?
Wanita
Dua : Kau kira
masuknya aku ke sini, licik seperti kamu? Dan saya tidak ditembak mati, tanpa
menjual kehormatan seperti Kamu. Pelacur!
Wanita
Tiga : Hati-hati
dengan mulutmu itu!
16. DENGAN
KETUKAN-KETUKAN TONGKATNYA SAMBIL BERKOMENTAR SENDIRI, MENYEBABKAN SI TUBAB DIMARAHI
DAN DIBENTAK RESIDEN.
Tubab : Dan
ternyata memang benar. Pertentangan itupun berawal dari adu argumentasi, antara
dua orang wanita pribumi saja. Entah iri, entah dengki. Entah cemburu, entah
pahitnya empedu. Semua kita memang belum tahu.
Residen : Tubab!
Tubab : Siap
menunggu Bell
Residen : Diam di tempatmu!
Wanita
Tiga : Aku
bangga, kamu bisa menerobos barisan serdadu Marsose di pos jaga itu. Aku
benar-benar bangga, sekalipun kewanitaanku telah kau corengi arang.
Residen : Saya sudah mengerti duduk
persoalannya. Baik. Tenang saja. Tidak usah bertengkar. Orang yang kalian
anggap pahlawan itu, adalah kesayangan kalian. Dan saya cukup memahaminya.
Tidak usah sedih dan tidak usah
risau. Dia toh tidak akan digantung. Dia akan segera di bebaskan.
Wanita
Dua : Saya
tidak sependapat.
Residen : Apa kamu bilang? Tidak
sependapat?
Wanita
Dua : Demang,
jadilah pahlawan yang mati di tiang gantungan Demang.
Residen : Ternyata kamu orang seorang
perempuan gila.
Wanita
Dua : Demang
tidak boleh tergoda oleh janji-janji.
Residen : Kamu orang jangan membuat
pendiriannya goyah kembali. Dia sudah meminta maaf kepada kompeni.
Wanita
Dua : Demang
tidak boleh meminta maaf. Demang tidak pernah bersalah. Sebab apabila Demang
gentar menghadapi tiang gantungan itu, berarti Demang akan mencelakakan anak
cucu di Banua Banjar ini.
Residen : Omongan apa pula itu, hah?
Wanita
Dua : Demang
tidak boleh mewariskan nilai-nilai kepengecutan. Percayalah Demang. Generasi
nanti, akan menjadi generasi banci. Demang, hadapilah kematian di tiang
gantungan itu dengan gagah dan berani. Sebab dengan kematian berarti suatu
kebebasan.
Residen : Tutup mulut kamu itu!
Wanita
Dua : Darah
dan air mata rakyat, adalah harta warisan yang paling mulia. Demang, Demang
tidak boleh takut. Haram Manyarah! Waja Sampai kaputing!
Residen : (Mengancam) kau minta
ditembak, hah?!
Demang
Lehman : Residen. Jangan ancam dia.
Kamu boleh menggantung saya, tapi jangan perlakukan dia dengan kekejaman.
Residen : Ohoo, akhirnya kamu punya
perasaan juga. Gud. Saya tidak akan menembak dia, kalau kamu menghendakinya.
Wanita
Dua : Saya
rela dengan kematian saya, tapi Demang tidak boleh menghentikan perlawanan.
Residen : Kamu masih juga lancang,
hah?
Demang
Lehman : Semua ini, berpangkal dari
ambisi dan nafsu serakahmu, Syarif Hamid (Berang).
Wanita
Tiga : Demang,
jangan salah faham. Syarif Hamid ini, justru berpihak pada Demang.
Wanita
Dua : (Kepada Wanita Tiga) Kamu juga pembunuh!
Pembunuh hati nurani.
Demang
Lehman : Kita harus mati bersama hari
ini. Kubunuh Kamu! (Mencekik leher Syarif Hamid)
Wanita
Tiga : Demang.
Jangan membunuh sekutu Walanda! Berbahaya! Lepaskan Dia! Residen. Selamatkanlah
Syarif Hamid.
Residen : (Buru-burru mengambil pistolnya) Hentikan! Lepaskan Dia! Tidak melepasnya, berarti kamu memilih mati di
sini!
Demang
Lehman : Baik. Saya tidak akan
membunuhnya. Dan Saya pun tidak ingin mati di ruang tertutup ini.
Wanita
Dua : Tapi
wanita murah ini, harus mati di ruangan ini! (Mencekik lehernya)
Residen : Atau kamu orang yang harus
saya tembak? Lepaskan dia!
Demang
Lehman : Benar. Lepaskan Dia.
Wanita
Dua : Tidak
akan saya lepaskan dia! Wanita munafik! Hibah warisnya, justru akan melunturkan
rasa kebangsaan! Memalukan! Kau harus mati!
Residen : Kurang ajar!
(Menembaknya)
Wanita
Dua : (Terhuyung-huyung, karena salah satu punggungnya ditembus peluru)
Demang
Lehman : Residen. Kau tembak Dia?!
(Proses dengan tempo yang panjang).
Residen : Saya harus berbuat apa
Demang? Saya, saya justru bermaksud tidak menghendaki kematian Demang.
Wanita
Tiga : Demang
Lehman (Mengambil Naskah Pernyataan). Kita
akan meraih masa depan yang lebih baik bukan? Dan Demang tidak menghendaki
kematian rakyat yang tidak berdosa tentunya.
Syarif
Hamid : Dengan
ditandatanganinya surat pernyataan itu, akan tentramlah persahabatan antar
bangsa.
Demang
Lehman : Tapi dibalik itu, isi perut
bumi kami terkuras untuk mempercantik negeri bangsa-bangsa itu. Dan kamu
(kepada Syarif hamid) telah
menyembunyikan bisa taringmu itu, di balik gunung mesiu serdadu Belanda.
Penjilat! Penipu! (Merobek Naskah Pernyataan)
Residen : Demang lehman! Kamu robek
itu surat pernyataan? Penghinaan! Kurang ajar!
17.
SPACE
RUANG TUNGGU
Tubab : Saya
bingung. Semua orang juga bingung! Bingung, bingung dan bingung!
18.
SPACE
RUANG KERJA
Residen : (Marah Hampir Tak Terkedalikan) Tubab...........!!
(Bell)
Tubab : Siap!
(Muncul) saya siap di samping tuanku!
Residen : Demang Lehman. Kami akan
catat, tidak kenal arti kompromi. Dan saya salah satu pengikut dan pewarisnya
yang patuh.
Residen : Borgol kembali!
Demang
Lehman : Tidak perlu, dan saya tidak
akan lari! Tuan Residen. Aksi teror Tuan hari ini, akan membuat senjata tuan
memakan tuan sendiri. Giringlah saya ke tiang gantungan itu.
B
E D U G : (Terdengar dari kejauhan)
Wanita
Tiga : Demang
lehman, Kau akan digantung?
Wanita
Dua : Kau
tidak akan mati, pahlawanku. Percayalah....semangatmu,.......(Mati)
Residen : Seret Dia!
Tubab : (memperlakukan dengan tidak wajar)
Demang
Lehman : Jangan perlakukan saya,
seperti hewan. Sana. Siapkan tali gantungan itu! Anjing Walanda!
Tubab : (Tampak seperi seorang kerdil)
19. PADA
SPACE B DI TIANG GANTUNGAN.
DI
ANTARA DUA TIANG GANTUNGAN, SEORANG PETUGAS MENUTUP MUKA DEMANG LEHMAN,
KEMUDIAN MEMASANGKAN KALUNG TALI KE LEHERNYA!
Residen : Untuk ucapanmu yang
terakhir, masih saya beri kesempatan. Silahkan!
Demang
Lehman : (Melepaskan Tutup Mukanya)
Panambahan Amiruddin Khalifatullah Mu’minin
Pangeran Antasari almarhum telah menghibahkan rasa jijiknya kepada setiap unsur
penjajahan di muka bumi ini. Dan dengan kematian saya hari ini, saya telah
buktikan hibah waris itu. Semua kita
harus bebas dari najis. Harus bebas dari kemunafikan!
Dangar-dangar
barataan....
Banua Banjar
Kalo Kahada Dipalas Lawan Banyu Mata Darah
Marikit
Dipingkuti Kompeni Walanda!
Haram
Manyarah! Waja Sampai Kaputing!
(Begitu
Residen Memberi Abah-abah menarik trap berpijaknya Demang Lehman, layarpun
tergelar ke bawah. Tampak bayangan tubuh terkulai di tali gantungan)
20. PADA
SPACE PRIBUMI TERJADI KEHARUAN DAN PERGOLAKAN
Wanita
Satu : Tidak
benar dia mati. Tidak benar dia mati! (Tersedu sedan karena haru) Tidak benar dia mati, Jiwanya dan
semangatnya selalu ada pada kita. (tertangis) Kita harus lanjutkan perjuangan ini.......
Tapi kita tidak boleh menangis. Yah, kita
tidak boleh menangis. Lebih baik kita susun barisan Haram Manyarah, Waja Sampai
Kaputing! Kita susun
serapi-rapinya. Kita akan lawan serdadu, marsose, walau kita sampai
mati..............!!!!
(Semua
Pejuang Bergerak)
Haram Manyarah,
Orang-orang : Haram Manyarah, Waja Sampai Kaputing!
==SELESAI==
September 1986
Penulis H. Adjim
Arijadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar