Jumat, 06 April 2012

nASKAH sEBELUM bEBAS


KOOR

 

Malam sembunyikan bulan dan sinarnya

Manusia mencari jawaban

Jawaban dari Tuhan yang kini mulai kehilangan arti

Sendiri manusia jalani hidupnya

Dan malam sembunyikan bulan dan sinarnya
Dan kelam tetap menjamah terang
Dan impian itu tetap menjamah tenang
Dan impian itu kini mulai hilang semua usang dalam doa
Terbuang dalam kenangan yang tak ingin diendapkan

PANGGUNG


            Panggung sel malam hari. Berkas sinar bulan menyusup lewat jendela berterali. Suara detik jam. Entah dari mana. Dua lelaki bersandar di dalamnya. Duduk bersandar pada sisi dinding yang berbeda. Lingga dan Hendra.

Lingga                 Besok, ya ?

Hendra                 Kenapa ?

Lingga                 Hanya besok.

Hendra                 Kenapa dengan besok ?

Lingga                 Hanya besok.

Hendra                 Tapi ada apa dengan besok ?

Lingga                 Aku hanya bilang besok. Itu saja.

Hendra                 Tapi kenapa besok ? Kenapa bukan hari ini, lusa, minggu depan ...

Lingga                 Karena besok adalah kebebasanku.

Hendra                 Kebebasan kita, kawan !!!

            KEDUANYA TERTAWA

Hendra                 Sudah dua tahun ...

Lingga                 Dan aku satu setengah ...

Hendra                 Lama sekali waktu kembali berpihak padaku ...

Lingga                 Pada kita ...

Hendra                 Pada kita.

Lingga                 Aku hampir yakin kalau Tuhan sudah melupakanku. Setiap hari kupupuk doa dan kesabaran, dan Tuhan malah menciptakan besok untuk memperpanjang penantianku. ( JEDA ) Aku menanti keajaiban membuktikan kebenaran dan menyucikannya dari dusta ...

Hendra                 Hanya satu setengah tahun dan kau masih tetap percaya pada Tuhan. Sungguh menyenangkan masih bisa mempercayai sesuatu saat kita berada di tempat seperti ini. Terbuang. Disingkirkan. Seakan – akan semua yang pernah berada di sini telah kehilangan martabatnya sebagai manusia. ( JEDA ) Aku hampir tidak percaya pada doa. Tuhan tidak pernah mendengar doaku, kawan. Mungkin Ia sama saja seperti manusia ciptaan – Nya ...

Lingga                 ... kau tidak bisa menyamakan – Nya serendah itu ...

Hendra                 ... yang hanya melihat tampak luar ...

Lingga                 ... Tuhan lebih menghargai hati manusia, kawan ...

Hendra                 ... dan karena Ia melihat diriku sebagai buruh kasar tidak berduit, tidak berpangkat, dan bukan siapa – siapa, maka Ia tidak mau mendengarku ...

Lingga                 Sombong.

Hendra                 ( MELOTOT ) Sombong ?

Lingga                 Manusia sombong dan tidak tahu diri, itulah dirimu.

Hendra                 Aku sombong ? Aku ? Kau bilang aku sombong dan tidak tahu diri ? Kau pikir siapa dirimu ? Lebih hebat dari diriku ? Lebih suci dariku ? Lalu, mengapa kau bisa berada di tempat ini ? Cuma karena kesalahan teknis, begitu ? Berkaca, Bung ! Kita berdua sama – sama tidak punya hak untuk saling mengata – ngatai ! ( MEMUKUL DINDING ) Kita berdua sama – sama seekor anjing ! Anjing !

Lingga                 Mengapa kita berdua tidak punya hak untuk saling mengata – ngatai ?               ( HENING ) Apa karena kita dianggap tidak lagi memiliki martabat sebagai manusia ? ( HENING ) Apa karena kita pernah berada di tempat ini, sebuah tempat dimana semua dianggap terperangkap karena dosa yang mereka lakukan, sekalipun sebenarnya mereka tidak melakukan apa – apa ?                  ( HENING ) Apa karena kita ...

Hendra                 Karena kita tidak lebih baik daripada yang lain, itu masalahnya. Aku tidak lebih baik darimu, kau tidak lebih baik dariku, kita sama – sama memiliki kehidupan yang tidak beruntung.

Lingga                 Tidak beruntung. ( TERTAWA ) Kau benar, kawanku yang baik. Kita sama sekali tidak memiliki kehidupan yang beruntung. ( JEDA ) Kau tahu aku ?        ( TERTAWA ) Sering kali aku berpikir bahwa aku ... ( TERTAWA HISTERIS SEAKAN – AKAN TERINGAT SESUATU YANG SANGAT MENGGELIKAN, LALU TIBA – TIBA DIAM ) Seringkali aku berpikir bahwa aku ...

Hendra                 Aku juga, aku juga, kawan.

Lingga                 Kau ? juga ? Bagaimana bisa ?

Hendra                 Tentu saja bisa karena sebenarnya aku tidak jauh berbeda denganmu.

Lingga                 Tidak jauh berbeda ?

Hendra                 Ya.

Lingga                 Tapi bagaimana mungkin kau bisa tidak jauuuh berbeda denganku, sementara kau belum tahu apa yang ingin kukatakan ?

Hendra                 Aku tahu.

Lingga                 Sungguh ?

Hendra                 Aku tahu karena sesekali aku juga memikirkannya.

Lingga                 Oh, ya ?

Hendra                 Ya.

Lingga                 Begitu.

Hendra                 Ya. Sesekali. Kalau aku sedang ingin sekali.

Lingga                 Ingin sekali ?

Hendra                 Ya, ingiiiiiin sekali.

Lingga                 Ingin apa ?

Hendra                 Bercinta ! ( TERTAWA ) Istrimu, kan, yang sejak tadi kau maksudkan ?

Lingga                 Istriku ? ( PADA PENONTON ) Kawanku yang baik. ( TERTAWA ) Padahal aku ingin berbicara tentang hidup padanya, tapi ia malah bicara soal perempuan. Gairah tinggi. ( PADA HENDRA ) Memang kenapa dengan istrimu, Kawan ?

Hendra                 Istriku ? Istriku adalah wanita paling cantik yang pernah kutemui. Kau tidak pernah melihatnya kalau ia datang ?

Lingga                 Ia sering mengunjungimu ?

Hendra                 Hanya sekali, sudah itu tidak.

Lingga                 Oh.

Hendra                 Tapi aku tidak pernah membencinya, kawan ! Sumpah ! Aku bersumpah padamu, pada Tuhan, kalau aku masih mencintainya, bahkan selalu menyayanginya ! Ia boleh membenciku, ia boleh menceraikanku mengata – ngataiku buruk rupa, si miskin atau yang lainnya lagi, bahkan ia boleh meninggalkanku, tapi aku akan selalu mencintainya. ( MEMBENTUR – BENTURKAN KEPALA KE DINDING ) Cinta, cinta, cinta, cinta anjing ! Anjing ! Bangsat semuanya ! Istriku bangsat terbesar, lalu hidupku, jangan ... jangan lupa pada tuan tanah itu ...

Lingga                 Tuan tanah ?

Hendra                 ... ia juga keluarga bangsat ! ( MEGAP – MEGAP SESAAT ) Kau tahu ?         ( SEPERTI BICARA PADA DIRINYA SENDIRI ) Dalam hidupku, aku hanya merasakan betapa beruntungnya diriku saat wanita itu menerima lamaranku. Padahal ia lebih berkecukupan dariku, lebih pandai, lebih cantik, seakan – akan Tuhan menciptakannya untuk menjadi seorang dewi bagi lelaki seperti aku. Aku bodoh, tidak kaya, tidak tampan, tapi aku sungguh – sungguh jatuh cinta padanya. Setelah menikah kami menyewa rumah kecil, sangat kecil di pinggiran kota. Aku melamar kerja ke sana kemari, ditendang bahkan diludahi, sampai akhirnya tuan tanah itu menerimaku menjadi buruh besar di perkebunannya.

Lingga                 Tuan tanah yang “ itu “.

Hendra                 Ya, tuan tanah yang “ itu “. ( HENING ) Saat itu aku sungguh – sungguh menganggapnya sebagai dewa penyelamat. Aku pulang ke rumah, kukatakan pada istriku, “ Aku diterima kerja, Sayang ! “, dan ia tersenyum memandangku seakan – akan aku adalah seorang pahlawan besar. Istri yang luar biasa. Malam itu kami bercinta, juga besok malamnya, juga malam – malam berikutnya, dan kemudian hari – hari menyenangkan itu mulai berubah ...

Lingga                 Berubah ?

Hendra                 ( SEPERTI BERADA DI ALAM LAIN ) Tuan tanah itu mulai bersikap semena – mena pada buruh – buruhnya. Ia memotong uang makan para buruh dari 3000 rupiah menjadi 2000, 1500, akhirnya ia hanya memberi 1000 setiap hari. Jam kerja kami ditambah tidak lagi dari pagi sampai sore, bahkan sampai lepas maghrib. Tiap kali kami menuntut perbaikan, alasannya selalu, selalu dan selaluuu saja, “ Krismon, krismon, krismon ! Masa kalian tidak mau     mengerti ? “. Tai dia. Dia potong uang makan kami sementara tiap hari kami cium bau goreng daging dari rumahnya. Kami tidak tahan lagi. Kami memang hanya buruh kecil, orang kecil, tapi kami juga menusia yang ingin dihargai. Kami mulai melakukan aksi unjuk rasa, dan ada salah seorang dari kami, Udin, ia dengan berani bicara pada tuan tanah, menuntut kenaikan upah, bicara soal hak buruh dan korupsi, lalu keesokan harinya kami mendengar ia ditemukan mati dibunuh perampok yang menjarah rumahnya.

Lingga                 Mati ?

Hendra                 Rekayasa, sandiwara, atau apa pun juga namanya yang jelas semua itu   bohong ! Bohong besar ! Kami tahu kalau tidak pernah ada perampok dan Udin mati karena dia terlalu banyak bicara. Dan tuan tanah itu, ia menawarkan banyak uang pada kami agar kami tutup mulut dan tidak menjadi Udin – Udin yang lain.

Lingga                 Dan kau mau ?

Hendra                 Ia datang ke rumahku. Bisa kau bayangkan, tuan tanah yang sombong itu datang ke rumahku ! Ia tawarkan seratus, dua ratus, lalu lima ratus, tujuh ratus dan akhirnya satu setengah juta agar aku mau menutup mulut ...

Lingga                 Dan kau mau ?

Hendra                 ... dan kulihat saat itu istriku menggelengkan kepalanya. Ia memegang tanganku dan berkata, “ Jangan, Pak. Asal kita jujur sudah cukup kita hidup seperti ini ... “, lalu kutolak tumpukan uang itu, dan kukatakan, “ Terima kasih, tapi tidak. Saya tidak akan menjual harga diri saya hanya untuk memperoleh uang ... “

Lingga                 ( BERTEPUK TANGAN ) Kau hebat, kawan !!!

Hendra                 ... dan kulihat warna wajahnya mulai berubah. Setelah itu aku mengerti arti perubahan warna pada wajahnya, karena seminggu kemudian polisi datang dengan surat perintah untuk menagkapku dengan tuduhan penggelapan uang dan penyerangan. Tuan tanah sialan ! Hukum sialan ! Keadilan tai ! Aku berteriak – teriak membela diriku, kuceritakan tentang Udin dan uang sogokan itu, tapi polisi – polisi itu malah memukuliku. Mereka pentung aku, mereka ludahi aku seakan – akan yang kukatakan semuanya adalah dusta ! Sungguh menyakitkan, kawan. Sungguh menyakitkan saat melihat istriku menangis. Lalu saat aku berteriak agar ia mempercayaiku, ia pun berlari memelukku, dan saat itu aku merasa akan memiliki tempat untuk kembali. Tapi aku salah. Salah besar. ( TERTAWA ) Cinta. Enam bulan aku berada di penjara, istriku datang berkunjung untuk pertama kalinya. “ Aku kangen sama kamu, Neng “, begitu yang kubilang. Kulihat matanya, ada rasa bersalah tergambar di sana. “ Maaf, Pak “, begitu dia bilang. “ Aku tidak kuat lagi. Aku tahu Bapak tidak bersalah, tapi aku capai. Semua orang memandangku seakan – akan aku penyakit menular. Aku tahu Bapak orang jujur. Aku percaya kalau Bapak tidak bersalah. Tapi ... “, dan ia mulai menangis. “ Semuanya jadi serba sulit karena krisis moneter ini, Pak. Harga – harga naiknya gila – gilaan, kontrak rumah juga belum dibayar, aku ... “, ia menangis makin keras. “ Tuan tanah itu membantuku ... “. “ Apa ? “, aku bilang. “ Lalu ia memintaku untuk jadi istrinya ... “. “ Dan kamu menolak, kan, Neng ? kamu tidak mau, kan, Neng ? Kamu istriku kan, Neng ? Tuan tanah itu sudah punya istri. Apa kamu mau jadi gundiknya dan kehilangan harga diri ? Kamu bilang tidak kan, Neng ? Iya kan, Neng ? “ ( MENANGIS ) Istriku hanya menangis sambil terus ngomong maaf. Aku tahu aku juga menangis. Saat itu semua mimpiku hilang begitu saja, bahkan semangatku untuk hidup. Ternyata manusia begitu mudah menjual prinsip hidupnya hanya untuk memperoleh uang. Ternyata keadilan hanya berlaku untuk orang – orang yang mampu, tapi bukan untukku. Kuhabiskan hidupku sambil berusaha melupakan tiap kenangan yang kumiliki. Dua tahun. Sudah dua tahun ...

Lingga                 Tapi kini semuanya sudah berubah, kan, kawan ?

Hendra                 Berubah. Begitu kata tabloid – tabloid itu. Dan radio, dan televisi, juga gosip – gosip murahan itu. Tapi kita belum tahu apa memang kenyataan menjadi lebih baik. Apa keadilan sudah mulai ada ? Apa mereka yang besar sudah bisa menghargai yang kecil ? Apa mereka sudah belajar untuk menghargai orang lain ?

Lingga                 Apa mereka sudah berani menyatakan mana yang benar dan mana yang salah dan mau bertindak untuk itu.

Hendra                 Pahit. ( MEMBERSIHKAN HIDUNG )

Lingga                 Istriku sudah mati.

Hendra                 Apa ?

Lingga                 Istriku sudah mati.

Hendra                 Kau bohong. Bohong kan ?

Lingga                 Aku seorang penulis lepas. Wartawan magang. Dulu. Biasanya aku lebih banyak menulis tentang pertandingan olahraga atau cerita – cerita pendek. Aku dan istriku ... Kami berpacaran sejak SMA dan menikah setelah selesai kuliah. Masih ku ingat bagaimana malam pertama kami. Di balik baju tidurnya ia kelihatan begitu seksi, dan desahannya setiap kali kami bercinta, lekuk payudaranya, dan harum tubuhnya ... ( MENERAWANG ) ... bagiku ia wanita yang paling sempurna. Tapi semuanya berubah saat mahasiswa – mahasiswa itu mulai berani bicara turun ke jalan. Seperti pembela kebenaran, mereka menggerakkan rakyat, orang – orang seperti kita, untuk memperbaiki keadaan pemerintahan yang kacau. Aku tidak membenci mereka karena mereka melakukan apa yang seharusnya dilakukan sejak dulu. Tapi aku membenci orang – orang yang berpura – pura paham dan ikut – ikutan, tapi akhirnya malah mengacaukan keadaan. ( JEDA ) Istriku ... Dia bukan warga Indonesia asli. Ia warga keturunan. Teman – teman kami dulu sering memanggilnya Amoy. Saat muncul berita – berita tentang pemerkosaan dan diskriminasi warga keturunan. Istriku mendadak takut keluar rumah. Ia tidak lagi seceria dulu, ia lebih suka mengurung diri. Dan malam itu ...

Hendra                 Malam itu ?

Lingga                 Empat orang perampok bertopeng menjarah rumahku ...

Hendra                 Lalu ?

Lingga                 ... dan bilang, “ Ambil saja semua yang kalian inginkan tapi tolong jangan sakiti kami “. Mereka malah tertawa. Mereka meludahi lantai sebelum meludahi wajahku. Dan saat melihat istriku tiba – tiba saja mereka menjadi lebih ganas. “ Amoy, hei ? Mau apa Amoy masih ada disini ? Sekarang bukan masanya lagi untuk nonpribumi berjaya. Amboi ... Cantik sekali Amoy kita yang satu ini ! “ Begitu teriak mereka. Mereka mulai meraba – raba tubuh istriku, mereka sentuh payudaranya, mereka robek bajunya, dan aku tidak bisa berbuat apa – apa selain merasa takut dengan ancaman golok yang mereka bawa ! Padahal aku suaminya, aku laki – laki, tapi aku bahkan tidak bisa melindungi istriku sendiri ! Kau tahu bagaimana sakitnya hatiku ? Kau tahu ?   ( MENANGIS ) Di depan mataku sendiri, kulihat bagaimana mereka seorang demi seorang memperkosa istriku. Berkali – kali, berkali – kali, dan terus berulang kali sampai aku tidak bisa lagi membedakan mana jeritanku dan mana jeritan istriku. “ Ayah, tolong ... “, istriku merintih. Istriku memohon. Padahal salah apa dia ? Apakah dia minta Tuhan untuk dilahirkan menjadi seorang nonpribumi ? Apa itu pribumi dan nonpribumi ? Apa Tuhan menciptakan manusia untuk dibeda – bedakan seperti itu ? Apa reformasi yang sedang berjalan membuat manusia yang satu tidak lagi menghargai manusia yang lain dan bebas mempermainkan nyawa dan martabatnya ? Bangsat ! Setan !   Anjing ! Aku tidak bisa berbuat apa – apa saat mereka membunuh istriku dan meninggalkannya menjadi mayat telanjang bulat ! Aku berteriak – teriak memohon pada Tuhan untuk menghidupkan kembali istriku, ku mohon agar ia bangkit, memelukku, menciumku, atau apa pun juga tapi istriku tetap saja diam dan terbaring di lantai itu dengan berlumuran darah ! Anjing !!!                         ( MENANGIS ) Aku berusaha memperoleh keadilan. Kuajukan kasusku ke pengadilan, tapi mereka seakan – akan menutup mata dan malah berkata          “ Bukan hanya Bapak saja yang mengalaminya. Masih banyak yang lain, tapi mereka tidak menuntut apa – apa, `kan ? “. “ Itu karena mereka takut, Pak ! “, kataku. “ Mereka bersyukur karena masih bisa hidup. Harusnya Bapak melakukan sesuatu, `kan ? Kenapa harus ada pembedaan antara pribumi dan nonpribumi ? Istri saya memang warga keturunan, tapi ia seorang manusia, dan ia mati karena diperkosa dan dibunuh secara sewenang – wenang ! Apa Bapak masih juga tidak peduli ? Apa Bapak masih bisa menutup mata pada kebenaran yang saya katakan ? Lalu kemana lagi saya harus mencari keadilan untuk istri saya ? “ Aku sampai berlutut. Memohon. Tapi aku malah dianggap subversif, menghina pengadilan, melakukan penghasutan, dan mereka begitu saja memasukkanku ke penjara. Saat itulah pengacara gratis yang dikirim oleh lembaga bantuan hukum mulai bicara tentang besok. Mereka membuat kata besok menjadi penantian yang semakin panjang dan tidak berujung. ( JEDA ) Kebebasan bull – shit. Omong kosong. Nyatanya kita masih belum benar – benar bebas sekalipun mereka melakukan reformasi. Krisis moneter tai. Harusnya mereka sadar kalau moral mereka yang krisis. Semuanya bull – shit. Bahkan kini manusia lebih menyamakan Tuhan dengan uang dan kekuasaan. Belum berubah. Belum. Kita masih hanya memiliki harapan.

( TIBA – TIBA TERDENGAR TERIAKAN – TERIAKAN DARI BELAKANG PANGGUNG. MUNCUL SIPIR PENJARA MENARIK SEORANG LAKI – LAKI. LAKI – LAKI ITU BERNAMA JARWO )

Jarwo                  Kunyuk ! Sontoloyo ! Mbok ya sampeyan hormat dikit sama saya. Sombong ! Mentang – mentang sampeyan pakai seragam, jadi sampeyan kira bisa macem – mecem sama saya ? Iya ?

Sipir Penjara       “ Masuk ! “.

Jarwo                  Iya ! Iya ! Saya juga ngerti ! Sampeyan pikir saya blo`on ? Huh ... !!! Sembarangan !

( PINTU SEL KEMBALI DI TUTUP )

Jarwo                  Hei Sontoloyo ! Hei !!! Bilang sama Bapak Hakim, perempuan yang tadi itu bukan wanita bener ! Istri saya itu pelacur, lonte, kalong wewe, makanya mau saya bunuh ! Tetangga saya juga bukan orang bener ! Dia itu tukang gosip murahan ! Sampeyan denger ?

( SIPIR SUDAH PERGI )

Jarwo                  Hoooooooooooiiiiiiiiiiii !!!!!!!! ( HENING ) Dasar Sontoloyo ! Wong edan ! Capai – capai orang ngomong malah dolan seenaknya. Piye, toh !                       ( BERBALIK ) Lo, piye iki ? Kenapa Kangmas – Kangmas ini ndelik kabeh sama saya ? Memang saya ini tontonan apa ?

( LINGGA DAN HENDRA SALING BERPANDANGAN )

Jarwo                  Kenapa ? Kaget denger saya mau bunuh istri saya sendiri ? Aaah, itu sudah biasa. Sudah nggak aneh ! Sekarang keadaan makin nggak bener, makin panas, Kangmas ! Reformasi, ya, reformasi ... Lapar, ya, tetap lapar. Mana waktu kampanye kemarin, pusiiiing ! Pusing kowe kalau lihat. Semuanya jadi nggak ada beres – beresnya. Yang kampanye, ya, kampanye, joget – joget di jalan, yang dagang, ya, tetap dagang. Saya juga ikut, sih. Padahal ya Kangmas, saya bilang, daripada mikir soal perut ! Makan, itu lo yang penting ! Padahal kata gosip, katanya kalau nilai tukar rupiah sudah kuat, harga bisa murah lagi. Eh, bukan !!! Jadi stabil !!! Tapi ya namanya juga gosip, jadi yaaaa ... sama saja. Lapar, ya lapar, bunuh – bunuhan juga makin kenceng. Tapi istri saya itu ya Kangmas, semua dia ajak melacur. Tukang becak, tukang sate, eeeh, waktu hamil malah balik sama saya. Kok ya saya mau terima. Saya cuma ngerasain sekali, kok malah bilang itu anak saya. Kalau saya, sih, daripada ngurus perempuan sialan itu, lebih baik saya urus diri sendiri. Saya, kan, bukan orang kaya. Saya cuma kuli, kadang – kadang tukang got, dagang, atau apa saja, pokoknya uang. Dasar pelacur. Saya belum cekik dia sampai mati, tapi tetangga saya sudah keburu lapor polisi. Sontoloyo. Wong edan. Tukang gosip murahan. Mbok ya, tapi ... Nggak apa – apa, he he he ... Yang penting saya jauh dari pelacur itu. Bisa makan, bisa tidur enak, di sini bisa makan gratis, `kan ? Yo beres semuanya.

(JARWO NAIK KE ATAS RANJANG. TIDUR.  TIDAK PEDULI PADA LINGGA MAUPUN HENDRA )
( LINGGA DAN HENDRA SALING BERPANDANGAN, TERTAWA )

Lingga             ( MENJAUH DARI RANJANG ) Orang edan.

Hendra            ( MENJAUH DARI RANJANG ) Dia senang masuk penjara karena bisa makan gratis.

Lingga             Dia pikir dengan begitu saja semuanya sudah beres.

Hendra            Padahal bagaimana pun juga hidup sebagai orang bebas masih lebih baik daripada orang tahanan.

Lingga             Tapi kita memang selalu bebas, kawan. Kita, kan, tidak bersalah. Kita masih bisa membedakan mana yang hak dan yang batil.

( JEDA )

Hendra            Besok, ya ?

Lingga             Besok.

Hendra            Kebebasanku.

Lingga             Kebebasanku juga.

Hendra            Rasanya sudah begitu lama aku tidak mengenang istriku seperti tadi.

Lingga             Kenapa tidak ? Simpanlah terus di dalam hatimu, kawan. Seseorang tidak akan menjadi lemah hanya karena mengenang masa lalu.

Hendra            Dan kau ?

Lingga             Aku ? Kenapa ?

Hendra            Setelah bebas, apa kau akan kembali menulis ?

Lingga             Aku ... Entahlah. Mungkin ya. Mungkin juga ... tidak.

Hendra            Mungkin kita juga masih bisa bertemu.

Lingga             Dan kau ? Apa yang akan kau lakukan setelah bebas nanti ?

Hendra            Entahlah. Mungkin aku akan ... ya, kau tahu ... mungkin ...

Lingga             Memulai hidup ?

Hendra            ... dan meneruskannya.

( KEDUANYA TERTAWA )

Lingga             Ya.

Hendra            Apa ?

Lingga             Mungkin aku akan kembali menulis.

Hendra            Bagus. Mau menulis tentang aku ?

Lingga             Tentang kita ... ya.

Hendra            Apa judulnya ?

Lingga             Mungkin ... Apa, ya ? Bagaimana kalau Sebelum Bebas ?

Hendra            Sebelum Bebas, Sebelu Bebas ... Ya kawan ! ( TERTAWA ) Aku suka judul itu. Sebelum Bebas dan segala harapan kita tentang kebebasan.

Lingga             Juga keadilan.

Hendra            Dan hidup yang lebih baik.

Lingga             Juga hak – hak kita yang lebih dihargai ...

Hendra            Dan makan.

Lingga             Dan tidur.

Hendra            Dan menulis.

Lingga             Dan cinta. ( JEDA ) Apa kau bisa jatuh cinta lagi ?

Hendra            Aku ? ( TERTAWA ) Entahlah. Aku masih bergairah untuk itu.

Lingga             Apa kau pernah berpikir untuk menikah lagi ?

Hendra            Kalau kau ?

Lingga             Mungkin, ya, kalau aku masih bisa menemukan wanita dengan payudara sebesar payudara istriku dulu. ( TERTAWA ) Tapi mungkin juga tidak, kawan. Entahlah. Aku benar – benar tidak tahu. Aku belum tahu karena kita masih belum benar – benar bebas.

Hendra            Ya. Baru besok.

Lingga             Besok.

Hendra            Kebebasanku ...

Lingga             Kebebasan kita juga.

( KEDUANYA MULAI TERTAWA SEPERTI ORANG GILA )
( TIBA – TIBA JARWO MENGGERUTU )

Jarwo               Kangmas – Kangmas ini sudah edan, ya ? Wong edan ! Piye, toh ! Mbok, ya, sampeyan hormat sedikit sama saya. Mentang – mentang kowe lebih senior di sini kowe pikir bisa seenaknya ketawa ...


( LAMPU PADAM )
( SESAAT MASIH TERDENGAR GERUTUAN ASEP )
( KOOR )
( LALU HENING )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar