KOOR
Malam sembunyikan bulan dan sinarnya
Manusia mencari jawaban
Jawaban dari Tuhan yang kini mulai kehilangan arti
Sendiri manusia jalani hidupnya
Dan malam
sembunyikan bulan dan sinarnya
Dan kelam tetap
menjamah terang
Dan impian itu
tetap menjamah tenang
Dan impian itu
kini mulai hilang semua usang dalam doa
Terbuang dalam
kenangan yang tak ingin diendapkan
PANGGUNG
Panggung sel malam hari.
Berkas sinar bulan menyusup lewat jendela berterali. Suara detik jam. Entah
dari mana. Dua lelaki bersandar di dalamnya. Duduk bersandar pada sisi dinding
yang berbeda. Lingga dan Hendra.
Lingga Besok, ya ?
Hendra Kenapa ?
Lingga Hanya besok.
Hendra Kenapa dengan besok ?
Lingga Hanya besok.
Hendra Tapi ada apa dengan besok ?
Lingga Aku hanya bilang besok. Itu
saja.
Hendra Tapi kenapa besok ? Kenapa
bukan hari ini, lusa, minggu depan ...
Lingga Karena besok adalah
kebebasanku.
Hendra Kebebasan kita, kawan !!!
KEDUANYA TERTAWA
Hendra Sudah dua tahun ...
Lingga Dan aku satu setengah ...
Hendra Lama sekali waktu kembali
berpihak padaku ...
Lingga Pada kita ...
Hendra Pada kita.
Lingga Aku hampir yakin kalau Tuhan
sudah melupakanku. Setiap hari kupupuk doa dan kesabaran, dan Tuhan malah
menciptakan besok untuk memperpanjang penantianku. ( JEDA ) Aku menanti
keajaiban membuktikan kebenaran dan menyucikannya dari dusta ...
Hendra Hanya satu setengah tahun dan
kau masih tetap percaya pada Tuhan. Sungguh menyenangkan masih bisa mempercayai
sesuatu saat kita berada di tempat seperti ini. Terbuang. Disingkirkan. Seakan
– akan semua yang pernah berada di sini telah kehilangan martabatnya sebagai
manusia. ( JEDA ) Aku hampir tidak percaya pada doa. Tuhan tidak pernah
mendengar doaku, kawan. Mungkin Ia sama saja seperti manusia ciptaan – Nya ...
Lingga ... kau tidak bisa menyamakan –
Nya serendah itu ...
Hendra ... yang hanya melihat tampak
luar ...
Lingga ... Tuhan lebih menghargai hati
manusia, kawan ...
Hendra ... dan karena Ia melihat
diriku sebagai buruh kasar tidak berduit, tidak berpangkat, dan bukan siapa –
siapa, maka Ia tidak mau mendengarku ...
Lingga Sombong.
Hendra ( MELOTOT ) Sombong ?
Lingga Manusia sombong dan tidak tahu
diri, itulah dirimu.
Hendra Aku sombong ? Aku ? Kau bilang
aku sombong dan tidak tahu diri ? Kau pikir siapa dirimu ? Lebih hebat dari
diriku ? Lebih suci dariku ? Lalu, mengapa kau bisa berada di tempat ini ? Cuma
karena kesalahan teknis, begitu ? Berkaca, Bung ! Kita berdua sama – sama tidak
punya hak untuk saling mengata – ngatai ! ( MEMUKUL DINDING ) Kita berdua sama
– sama seekor anjing ! Anjing !
Lingga Mengapa kita berdua tidak punya
hak untuk saling mengata – ngatai ? ( HENING ) Apa karena kita
dianggap tidak lagi memiliki martabat sebagai manusia ? ( HENING ) Apa karena
kita pernah berada di tempat ini, sebuah tempat dimana semua dianggap
terperangkap karena dosa yang mereka lakukan, sekalipun sebenarnya mereka tidak
melakukan apa – apa ? (
HENING ) Apa karena kita ...
Hendra Karena kita tidak lebih baik
daripada yang lain, itu masalahnya. Aku tidak lebih baik darimu, kau tidak
lebih baik dariku, kita sama – sama memiliki kehidupan yang tidak beruntung.
Lingga Tidak beruntung. ( TERTAWA )
Kau benar, kawanku yang baik. Kita sama sekali tidak memiliki kehidupan yang
beruntung. ( JEDA ) Kau tahu aku ?
( TERTAWA ) Sering kali aku berpikir bahwa aku ... ( TERTAWA HISTERIS
SEAKAN – AKAN TERINGAT SESUATU YANG SANGAT MENGGELIKAN, LALU TIBA – TIBA DIAM )
Seringkali aku berpikir bahwa aku ...
Hendra Aku juga, aku juga, kawan.
Lingga Kau ? juga ? Bagaimana bisa ?
Hendra Tentu saja bisa karena
sebenarnya aku tidak jauh berbeda denganmu.
Lingga Tidak jauh berbeda ?
Hendra Ya.
Lingga Tapi bagaimana mungkin kau bisa
tidak jauuuh berbeda denganku, sementara kau belum tahu apa yang ingin
kukatakan ?
Hendra Aku tahu.
Lingga Sungguh ?
Hendra Aku tahu karena sesekali aku
juga memikirkannya.
Lingga Oh, ya ?
Hendra Ya.
Lingga Begitu.
Hendra Ya. Sesekali. Kalau aku sedang
ingin sekali.
Lingga Ingin sekali ?
Hendra Ya, ingiiiiiin sekali.
Lingga Ingin apa ?
Hendra Bercinta ! ( TERTAWA ) Istrimu,
kan, yang sejak tadi kau maksudkan ?
Lingga Istriku ? ( PADA PENONTON )
Kawanku yang baik. ( TERTAWA ) Padahal aku ingin berbicara tentang hidup
padanya, tapi ia malah bicara soal perempuan. Gairah tinggi. ( PADA HENDRA )
Memang kenapa dengan istrimu, Kawan ?
Hendra Istriku ? Istriku adalah wanita
paling cantik yang pernah kutemui. Kau tidak pernah melihatnya kalau ia datang
?
Lingga Ia sering mengunjungimu ?
Hendra Hanya sekali, sudah itu tidak.
Lingga Oh.
Hendra Tapi
aku tidak pernah membencinya, kawan ! Sumpah ! Aku bersumpah padamu, pada
Tuhan, kalau aku masih mencintainya, bahkan selalu menyayanginya ! Ia boleh
membenciku, ia boleh menceraikanku mengata – ngataiku buruk rupa, si miskin
atau yang lainnya lagi, bahkan ia boleh meninggalkanku, tapi aku akan selalu
mencintainya. ( MEMBENTUR – BENTURKAN KEPALA KE DINDING ) Cinta, cinta, cinta,
cinta anjing ! Anjing ! Bangsat semuanya ! Istriku bangsat terbesar, lalu
hidupku, jangan ... jangan lupa pada tuan tanah itu ...
Lingga Tuan tanah ?
Hendra ... ia juga keluarga bangsat !
( MEGAP – MEGAP SESAAT ) Kau tahu ?
( SEPERTI BICARA PADA DIRINYA SENDIRI ) Dalam hidupku, aku hanya
merasakan betapa beruntungnya diriku saat wanita itu menerima lamaranku.
Padahal ia lebih berkecukupan dariku, lebih pandai, lebih cantik, seakan – akan
Tuhan menciptakannya untuk menjadi seorang dewi bagi lelaki seperti aku. Aku
bodoh, tidak kaya, tidak tampan, tapi aku sungguh – sungguh jatuh cinta
padanya. Setelah menikah kami menyewa rumah kecil, sangat kecil di pinggiran
kota. Aku melamar kerja ke sana kemari, ditendang bahkan diludahi, sampai
akhirnya tuan tanah itu menerimaku menjadi buruh besar di perkebunannya.
Lingga Tuan tanah yang “ itu “.
Hendra Ya, tuan tanah yang “ itu “. (
HENING ) Saat itu aku sungguh – sungguh menganggapnya sebagai dewa penyelamat.
Aku pulang ke rumah, kukatakan pada istriku, “ Aku diterima kerja, Sayang ! “,
dan ia tersenyum memandangku seakan – akan aku adalah seorang pahlawan besar.
Istri yang luar biasa. Malam itu kami bercinta, juga besok malamnya, juga malam
– malam berikutnya, dan kemudian hari – hari menyenangkan itu mulai berubah ...
Lingga Berubah ?
Hendra ( SEPERTI BERADA DI ALAM LAIN )
Tuan tanah itu mulai bersikap semena – mena pada buruh – buruhnya. Ia memotong
uang makan para buruh dari 3000 rupiah menjadi 2000, 1500, akhirnya ia hanya
memberi 1000 setiap hari. Jam kerja kami ditambah tidak lagi dari pagi sampai
sore, bahkan sampai lepas maghrib. Tiap kali kami menuntut perbaikan, alasannya
selalu, selalu dan selaluuu saja, “ Krismon, krismon, krismon ! Masa kalian
tidak mau mengerti ? “. Tai dia. Dia
potong uang makan kami sementara tiap hari kami cium bau goreng daging dari
rumahnya. Kami tidak tahan lagi. Kami memang hanya buruh kecil, orang kecil,
tapi kami juga menusia yang ingin dihargai. Kami mulai melakukan aksi unjuk
rasa, dan ada salah seorang dari kami, Udin, ia dengan berani bicara pada tuan
tanah, menuntut kenaikan upah, bicara soal hak buruh dan korupsi, lalu keesokan
harinya kami mendengar ia ditemukan mati dibunuh perampok yang menjarah
rumahnya.
Lingga Mati ?
Hendra Rekayasa, sandiwara, atau apa
pun juga namanya yang jelas semua itu
bohong ! Bohong besar ! Kami tahu kalau tidak pernah ada perampok dan
Udin mati karena dia terlalu banyak bicara. Dan tuan tanah itu, ia menawarkan
banyak uang pada kami agar kami tutup mulut dan tidak menjadi Udin – Udin yang
lain.
Lingga Dan kau mau ?
Hendra Ia datang ke rumahku. Bisa kau
bayangkan, tuan tanah yang sombong itu datang ke rumahku ! Ia tawarkan seratus,
dua ratus, lalu lima ratus, tujuh ratus dan akhirnya satu setengah juta agar
aku mau menutup mulut ...
Lingga Dan kau mau ?
Hendra ... dan kulihat saat itu istriku
menggelengkan kepalanya. Ia memegang tanganku dan berkata, “ Jangan, Pak. Asal
kita jujur sudah cukup kita hidup seperti ini ... “, lalu kutolak tumpukan uang
itu, dan kukatakan, “ Terima kasih, tapi tidak. Saya tidak akan menjual harga
diri saya hanya untuk memperoleh uang ... “
Lingga ( BERTEPUK TANGAN ) Kau hebat,
kawan !!!
Hendra ... dan kulihat warna wajahnya
mulai berubah. Setelah itu aku mengerti arti perubahan warna pada wajahnya,
karena seminggu kemudian polisi datang dengan surat perintah untuk menagkapku
dengan tuduhan penggelapan uang dan penyerangan. Tuan tanah sialan ! Hukum
sialan ! Keadilan tai ! Aku berteriak – teriak membela diriku, kuceritakan
tentang Udin dan uang sogokan itu, tapi polisi – polisi itu malah memukuliku.
Mereka pentung aku, mereka ludahi aku seakan – akan yang kukatakan semuanya
adalah dusta ! Sungguh menyakitkan, kawan. Sungguh menyakitkan saat melihat
istriku menangis. Lalu saat aku berteriak agar ia mempercayaiku, ia pun berlari
memelukku, dan saat itu aku merasa akan memiliki tempat untuk kembali. Tapi aku
salah. Salah besar. ( TERTAWA ) Cinta. Enam bulan aku berada di penjara,
istriku datang berkunjung untuk pertama kalinya. “ Aku kangen sama kamu, Neng
“, begitu yang kubilang. Kulihat matanya, ada rasa bersalah tergambar di sana.
“ Maaf, Pak “, begitu dia bilang. “ Aku tidak kuat lagi. Aku tahu Bapak tidak
bersalah, tapi aku capai. Semua orang memandangku seakan – akan aku penyakit
menular. Aku tahu Bapak orang jujur. Aku percaya kalau Bapak tidak bersalah.
Tapi ... “, dan ia mulai menangis. “ Semuanya jadi serba sulit karena krisis
moneter ini, Pak. Harga – harga naiknya gila – gilaan, kontrak rumah juga belum
dibayar, aku ... “, ia menangis makin keras. “ Tuan tanah itu membantuku ... “.
“ Apa ? “, aku bilang. “ Lalu ia memintaku untuk jadi istrinya ... “. “ Dan
kamu menolak, kan, Neng ? kamu tidak mau, kan, Neng ? Kamu istriku kan, Neng ?
Tuan tanah itu sudah punya istri. Apa kamu mau jadi gundiknya dan kehilangan
harga diri ? Kamu bilang tidak kan, Neng ? Iya kan, Neng ? “ ( MENANGIS )
Istriku hanya menangis sambil terus ngomong maaf. Aku tahu aku juga menangis.
Saat itu semua mimpiku hilang begitu saja, bahkan semangatku untuk hidup.
Ternyata manusia begitu mudah menjual prinsip hidupnya hanya untuk memperoleh uang.
Ternyata keadilan hanya berlaku untuk orang – orang yang mampu, tapi bukan
untukku. Kuhabiskan hidupku sambil berusaha melupakan tiap kenangan yang
kumiliki. Dua tahun. Sudah dua tahun ...
Lingga Tapi kini semuanya sudah
berubah, kan, kawan ?
Hendra Berubah. Begitu kata tabloid –
tabloid itu. Dan radio, dan televisi, juga gosip – gosip murahan itu. Tapi kita
belum tahu apa memang kenyataan menjadi lebih baik. Apa keadilan sudah mulai
ada ? Apa mereka yang besar sudah bisa menghargai yang kecil ? Apa mereka sudah
belajar untuk menghargai orang lain ?
Lingga Apa mereka sudah berani
menyatakan mana yang benar dan mana yang salah dan mau bertindak untuk itu.
Hendra Pahit. ( MEMBERSIHKAN HIDUNG )
Lingga Istriku sudah mati.
Hendra Apa ?
Lingga Istriku sudah mati.
Hendra Kau bohong. Bohong kan ?
Lingga Aku seorang penulis lepas.
Wartawan magang. Dulu. Biasanya aku lebih banyak menulis tentang pertandingan
olahraga atau cerita – cerita pendek. Aku dan istriku ... Kami berpacaran sejak
SMA dan menikah setelah selesai kuliah. Masih ku ingat bagaimana malam pertama
kami. Di balik baju tidurnya ia kelihatan begitu seksi, dan desahannya setiap
kali kami bercinta, lekuk payudaranya, dan harum tubuhnya ... ( MENERAWANG )
... bagiku ia wanita yang paling sempurna. Tapi semuanya berubah saat mahasiswa
– mahasiswa itu mulai berani bicara turun ke jalan. Seperti pembela kebenaran,
mereka menggerakkan rakyat, orang – orang seperti kita, untuk memperbaiki
keadaan pemerintahan yang kacau. Aku tidak membenci mereka karena mereka
melakukan apa yang seharusnya dilakukan sejak dulu. Tapi aku membenci orang –
orang yang berpura – pura paham dan ikut – ikutan, tapi akhirnya malah
mengacaukan keadaan. ( JEDA ) Istriku ... Dia bukan warga Indonesia asli. Ia
warga keturunan. Teman – teman kami dulu sering memanggilnya Amoy. Saat muncul
berita – berita tentang pemerkosaan dan diskriminasi warga keturunan. Istriku
mendadak takut keluar rumah. Ia tidak lagi seceria dulu, ia lebih suka
mengurung diri. Dan malam itu ...
Hendra Malam itu ?
Lingga Empat orang perampok bertopeng
menjarah rumahku ...
Hendra Lalu ?
Lingga ...
dan bilang, “ Ambil saja semua yang kalian inginkan tapi tolong jangan sakiti
kami “. Mereka malah tertawa. Mereka meludahi lantai sebelum meludahi wajahku.
Dan saat melihat istriku tiba – tiba saja mereka menjadi lebih ganas. “ Amoy,
hei ? Mau apa Amoy masih ada disini ? Sekarang bukan masanya lagi untuk
nonpribumi berjaya. Amboi ... Cantik sekali Amoy kita yang satu ini ! “ Begitu
teriak mereka. Mereka mulai meraba – raba tubuh istriku, mereka sentuh
payudaranya, mereka robek bajunya, dan aku tidak bisa berbuat apa – apa selain
merasa takut dengan ancaman golok yang mereka bawa ! Padahal aku suaminya, aku
laki – laki, tapi aku bahkan tidak bisa melindungi istriku sendiri ! Kau tahu
bagaimana sakitnya hatiku ? Kau tahu ?
( MENANGIS ) Di depan mataku sendiri, kulihat bagaimana mereka seorang
demi seorang memperkosa istriku. Berkali – kali, berkali – kali, dan terus
berulang kali sampai aku tidak bisa lagi membedakan mana jeritanku dan mana
jeritan istriku. “ Ayah, tolong ... “, istriku merintih. Istriku memohon.
Padahal salah apa dia ? Apakah dia minta Tuhan untuk dilahirkan menjadi seorang
nonpribumi ? Apa itu pribumi dan nonpribumi ? Apa Tuhan menciptakan manusia untuk
dibeda – bedakan seperti itu ? Apa reformasi yang sedang berjalan membuat
manusia yang satu tidak lagi menghargai manusia yang lain dan bebas
mempermainkan nyawa dan martabatnya ? Bangsat ! Setan ! Anjing ! Aku tidak bisa berbuat apa – apa
saat mereka membunuh istriku dan meninggalkannya menjadi mayat telanjang bulat
! Aku berteriak – teriak memohon pada Tuhan untuk menghidupkan kembali istriku,
ku mohon agar ia bangkit, memelukku, menciumku, atau apa pun juga tapi istriku
tetap saja diam dan terbaring di lantai itu dengan berlumuran darah ! Anjing
!!! ( MENANGIS )
Aku berusaha memperoleh keadilan. Kuajukan kasusku ke pengadilan, tapi mereka
seakan – akan menutup mata dan malah berkata “ Bukan hanya Bapak saja yang mengalaminya.
Masih banyak yang lain, tapi mereka tidak menuntut apa – apa, `kan ? “. “ Itu
karena mereka takut, Pak ! “, kataku. “ Mereka bersyukur karena masih bisa
hidup. Harusnya Bapak melakukan sesuatu, `kan ? Kenapa harus ada pembedaan
antara pribumi dan nonpribumi ? Istri saya memang warga keturunan, tapi ia
seorang manusia, dan ia mati karena diperkosa dan dibunuh secara sewenang –
wenang ! Apa Bapak masih juga tidak peduli ? Apa Bapak masih bisa menutup mata
pada kebenaran yang saya katakan ? Lalu kemana lagi saya harus mencari keadilan
untuk istri saya ? “ Aku sampai berlutut. Memohon. Tapi aku malah dianggap
subversif, menghina pengadilan, melakukan penghasutan, dan mereka begitu saja
memasukkanku ke penjara. Saat itulah pengacara gratis yang dikirim oleh lembaga
bantuan hukum mulai bicara tentang besok. Mereka membuat kata besok menjadi
penantian yang semakin panjang dan tidak berujung. ( JEDA ) Kebebasan bull –
shit. Omong kosong. Nyatanya kita masih belum benar – benar bebas sekalipun
mereka melakukan reformasi. Krisis moneter tai. Harusnya mereka sadar kalau
moral mereka yang krisis. Semuanya bull – shit. Bahkan kini manusia
lebih menyamakan Tuhan dengan uang dan kekuasaan. Belum berubah. Belum. Kita
masih hanya memiliki harapan.
( TIBA – TIBA TERDENGAR TERIAKAN – TERIAKAN DARI BELAKANG PANGGUNG.
MUNCUL SIPIR PENJARA MENARIK SEORANG LAKI – LAKI. LAKI – LAKI ITU BERNAMA JARWO
)
Jarwo Kunyuk !
Sontoloyo ! Mbok ya sampeyan hormat dikit sama saya. Sombong ! Mentang –
mentang sampeyan pakai seragam, jadi sampeyan kira bisa macem – mecem sama saya
? Iya ?
Sipir Penjara “ Masuk ! “.
Jarwo Iya ! Iya !
Saya juga ngerti ! Sampeyan pikir saya blo`on ? Huh ... !!! Sembarangan !
( PINTU SEL KEMBALI DI TUTUP )
Jarwo Hei
Sontoloyo ! Hei !!! Bilang sama Bapak Hakim, perempuan yang tadi itu bukan
wanita bener ! Istri saya itu pelacur, lonte, kalong wewe, makanya mau saya
bunuh ! Tetangga saya juga bukan orang bener ! Dia itu tukang gosip murahan !
Sampeyan denger ?
( SIPIR SUDAH PERGI )
Jarwo Hoooooooooooiiiiiiiiiiii
!!!!!!!! ( HENING ) Dasar Sontoloyo ! Wong edan ! Capai – capai orang ngomong
malah dolan seenaknya. Piye, toh ! ( BERBALIK ) Lo, piye
iki ? Kenapa Kangmas – Kangmas ini ndelik kabeh sama saya ? Memang saya ini
tontonan apa ?
( LINGGA DAN HENDRA SALING BERPANDANGAN )
Jarwo Kenapa ?
Kaget denger saya mau bunuh istri saya sendiri ? Aaah, itu sudah biasa. Sudah
nggak aneh ! Sekarang keadaan makin nggak bener, makin panas, Kangmas !
Reformasi, ya, reformasi ... Lapar, ya, tetap lapar. Mana waktu kampanye
kemarin, pusiiiing ! Pusing kowe kalau lihat. Semuanya jadi nggak ada beres –
beresnya. Yang kampanye, ya, kampanye, joget – joget di jalan, yang dagang, ya,
tetap dagang. Saya juga ikut, sih. Padahal ya Kangmas, saya bilang, daripada
mikir soal perut ! Makan, itu lo yang penting ! Padahal kata gosip, katanya
kalau nilai tukar rupiah sudah kuat, harga bisa murah lagi. Eh, bukan !!! Jadi
stabil !!! Tapi ya namanya juga gosip, jadi yaaaa ... sama saja. Lapar, ya
lapar, bunuh – bunuhan juga makin kenceng. Tapi istri saya itu ya Kangmas,
semua dia ajak melacur. Tukang becak, tukang sate, eeeh, waktu hamil malah
balik sama saya. Kok ya saya mau terima. Saya cuma ngerasain sekali, kok malah
bilang itu anak saya. Kalau saya, sih, daripada ngurus perempuan sialan itu,
lebih baik saya urus diri sendiri. Saya, kan, bukan orang kaya. Saya cuma kuli,
kadang – kadang tukang got, dagang, atau apa saja, pokoknya uang. Dasar
pelacur. Saya belum cekik dia sampai mati, tapi tetangga saya sudah keburu lapor
polisi. Sontoloyo. Wong edan. Tukang gosip murahan. Mbok ya, tapi ... Nggak apa
– apa, he he he ... Yang penting saya jauh dari pelacur itu. Bisa makan, bisa
tidur enak, di sini bisa makan gratis, `kan ? Yo beres semuanya.
(JARWO NAIK KE ATAS RANJANG. TIDUR.
TIDAK PEDULI PADA LINGGA MAUPUN HENDRA )
( LINGGA DAN HENDRA SALING BERPANDANGAN, TERTAWA )
Lingga ( MENJAUH DARI
RANJANG ) Orang edan.
Hendra ( MENJAUH DARI
RANJANG ) Dia senang masuk penjara karena bisa makan gratis.
Lingga Dia pikir dengan
begitu saja semuanya sudah beres.
Hendra Padahal
bagaimana pun juga hidup sebagai orang bebas masih lebih baik daripada orang
tahanan.
Lingga Tapi kita
memang selalu bebas, kawan. Kita, kan, tidak bersalah. Kita masih bisa
membedakan mana yang hak dan yang batil.
( JEDA )
Hendra Besok, ya ?
Lingga Besok.
Hendra Kebebasanku.
Lingga Kebebasanku
juga.
Hendra Rasanya sudah
begitu lama aku tidak mengenang istriku seperti tadi.
Lingga Kenapa tidak ?
Simpanlah terus di dalam hatimu, kawan. Seseorang tidak akan menjadi lemah
hanya karena mengenang masa lalu.
Hendra Dan kau ?
Lingga Aku ? Kenapa ?
Hendra Setelah bebas,
apa kau akan kembali menulis ?
Lingga Aku ...
Entahlah. Mungkin ya. Mungkin juga ... tidak.
Hendra Mungkin kita
juga masih bisa bertemu.
Lingga Dan kau ? Apa
yang akan kau lakukan setelah bebas nanti ?
Hendra Entahlah.
Mungkin aku akan ... ya, kau tahu ... mungkin ...
Lingga Memulai hidup ?
Hendra ... dan
meneruskannya.
( KEDUANYA TERTAWA )
Lingga Ya.
Hendra Apa ?
Lingga Mungkin aku
akan kembali menulis.
Hendra Bagus. Mau
menulis tentang aku ?
Lingga Tentang kita
... ya.
Hendra Apa judulnya ?
Lingga Mungkin ...
Apa, ya ? Bagaimana kalau Sebelum Bebas ?
Hendra Sebelum Bebas,
Sebelu Bebas ... Ya kawan ! ( TERTAWA ) Aku suka judul itu. Sebelum Bebas dan
segala harapan kita tentang kebebasan.
Lingga Juga keadilan.
Hendra Dan hidup yang
lebih baik.
Lingga Juga hak – hak
kita yang lebih dihargai ...
Hendra Dan makan.
Lingga Dan tidur.
Hendra Dan menulis.
Lingga Dan cinta. (
JEDA ) Apa kau bisa jatuh cinta lagi ?
Hendra Aku ? ( TERTAWA
) Entahlah. Aku masih bergairah untuk itu.
Lingga Apa kau pernah
berpikir untuk menikah lagi ?
Hendra Kalau kau ?
Lingga Mungkin, ya,
kalau aku masih bisa menemukan wanita dengan payudara sebesar payudara istriku
dulu. ( TERTAWA ) Tapi mungkin juga tidak, kawan. Entahlah. Aku benar – benar
tidak tahu. Aku belum tahu karena kita masih belum benar – benar bebas.
Hendra Ya. Baru besok.
Lingga Besok.
Hendra Kebebasanku ...
Lingga Kebebasan kita
juga.
( KEDUANYA MULAI TERTAWA SEPERTI ORANG GILA )
( TIBA – TIBA JARWO MENGGERUTU )
Jarwo Kangmas –
Kangmas ini sudah edan, ya ? Wong edan ! Piye, toh ! Mbok, ya, sampeyan hormat
sedikit sama saya. Mentang – mentang kowe lebih senior di sini kowe pikir bisa
seenaknya ketawa ...
( LAMPU PADAM )
( SESAAT MASIH TERDENGAR GERUTUAN ASEP )
( KOOR )
( LALU HENING )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar